Rabu, 19 Desember 2012

Adonara, aku ingin kembali...

Adonara, sebuah pulau yang hanya berupa noktah hitam dalam peta Indonesia. Wilayah ini berada di Kab. Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Pulau kering dan tandus itu menyimpan banyak cerita yang hampir tak pernah terangkat di media massa, baik media cetak maupun layar kaca. Cerita tentang kebersamaan, cerita tentang perjuangan hidup, cerita yang selalu ingin membuat kita kembali.

Coklat. Aku melihat warna coklat dimana-mana. Aku mencium bau tanah kering kecoklatan, tandus, hampir tidak ada pohon rindang yang sudi berdiam diri diatasnya. Hanya jambu mede, kelapa dan ubi kayu yang bisa bertahan hidup, tumbuh di sela-sela tanah kering dan bebatuan. Debu jalan beterbangan tersapu angin ketika sebuah mobil bak terbuka lewat, menyisakan udara pekat berwarna coklat. Atap-atap rumah yang terbuat dari rumbia berwarna coklat. Perempuan-perempuan membawa air dalam ember plastik yang diletakkan di kepala berjalan tegak beriringan dengan sebelah tangannya memegang ember di kepala. Kain tenun tradisional dengan corak khas juga didominasi warna coklat hitam melilit di pinggang mereka.


Adonara, pulau yang baru kutahu namanya ketika aku berkunjung ke sana. Pulau kecil yang hanya berupa noktah hitam dalam peta Indonesia, kering dan tandus, namun selalu membuatku rindu untuk kembali. Sebuah pulau yang tak pernah kudengar namanya dalam pelajaran geografi di sekolah. Bagiku, Pulau Adonara menyimpan banyak cerita, bahkan jauh lebih berharga dari sejarah bangsa ini yang banyak direkayasa demi kepentingan segelintir penguasa.


Pulau Adonara berada di antara Pulau Flores dan Pulau Lembata. Kondisi alam yang tandus dan kering, sumberdaya alam yang kurang memadai, memaksa sebagian penduduk, terutama para lelaki untuk mencari penghidupan yang lebih baik di luar wilayahnya, bahkan ke negeri tetangga; Malaysia. Mereka meninggalkan anak dan istrinya yang bertahan hidup sendirian, bahkan terkadang meninggalkan hutang-hutang karena kepergiannya. Tak jarang mereka pergi merantau dan tak pernah kembali, entah mereka lupa akan tanah leluhurnya, lupa akan anak istrinya, bahkan banyak diantara mereka yang kawin lagi di perantauan. Kondisi tersebut menyisakan beban hidup dan kepedihan yang mendalam bagi para istri, perempuan yang ditinggalkan.


Juni tahun 2003, awal perkenalanku dengan pulau Adonara. Ketika itu aku menjadi bagian dari proses pembuatan video dokumenter tentang kisah hidup para perempuan yang terpaksa berperan sebagai kepala keluarga. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari kegiatan lokakarya pembuatan video yang dilaksanakan di Bali sebelumnya. Kami berlima menjadi satu tim produksi dengan dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Anna Har, sang sutradara, seorang perempuan yang aku kagumi, suhu utamaku, dia seorang ahli pembuat film dari Malaysia, yang juga fasilitator pelatihan. Adi Nugroho, teman kerjaku di PEKKA sebagai produser, yang bertanggungjawab terhadap jalannya pelaksanaan produksi. Yoga Atmaja, seorang lelaki Bali dari Yayasan Wisnu yang lebih banyak berperan sebagai pewawancara dan editor. Sedang aku dan seorang lagi teman dari Yayasan Nen Mas Il, Veggy Elmas namanya, berperan sebagai penata kamera.


Proses pengambilan gambar memakan waktu 4 hari terasa sangat melelahkan. Pagi-pagi buta, sebelum sang fajar menampakkan sinarnya, kami harus bangun karena dalam pembuatan film dokumenter, terutama film yang mengangkat profil seseorang haruslah mengikuti kegiatannya dari sejak orang tersebut terbangun dari tidurnya. Namun keletihan dan kelelahan fisik terbayar lunas dengan apa yang kudapat. Banyak hal yang aku pelajari dari kawan-kawan satu tim, terutama Anna. Anna mengajariku bagaimana menjadi seorang sutradara, bagaimana mengarahkan kamera agar gambar yang dihasilkan adalah gambar terbaik dan bisa digunakan untuk menyampaikan pesan. Aku berusaha menyerap sebanyak mungkin ilmu yang dimilikinya, bagaimana memilih tokoh yang bisa mendukung cerita, teknik mewawancarai yang baik yang memungkinkan narasumber yang diwawancarai bisa bercerita dengan leluasa.


"Nama saya Lucia Ola Ina, anak saya tiga orang, suami saya pergi ke Malyasia 7 tahun, tidak ada berita.” Kalimat tersebut bisa dengan lancar diucapkan oleh Olin, sapaan akrab perempuan tersebut setelah beberapa kali kami melakukan pengulangan pertanyaan. Olin adalah salah seorang perempuan kepala keluarga yang menjadi narasumber kami, perempuan yang menanggung beban hidup, menafkahi dan membesarkan ketiga anaknya sendirian. Wajahnya yang polos dan hampir tidak ada ekspresi itu akhirnya bisa bercerita. Olin hidup dari mengurus kebun dan berjualan “papalele” hasil kebun di Pasar Senadan, pasar tradisional di Kecamatan Ile Boleng. Beban berat yang dipikulnya menyebabkan dua orang anaknya tidak bisa bersekolah. Olin tinggal di sebuah gubuk berukuran kira-kira 3 x 4 meter yang dindingnya terbuat dari bambu, hanya ada satu ruangan tanpa penyekat yang berfungsi sebagai ruang keluarga, kamar tidur, ruang tamu sekaligus dapur dengan segala perlengkapannya. Namun aku tidak melihat kesedihan di wajahnya, tak ada rasa dendam dan marah meski suaminya pergi sekian lamanya tanpa kabar dan berita, apalagi kiriman uang untuk menghidupi keluarganya.


"Harus sabar, pasrah dan berdoa,” hanya itu yang terujar dari wajah polosnya. Begitupun anak-anaknya, mereka bermain dengan riang di halaman rumah, begitu gembira.


Lain lagi halnya Anas, seorang perempuan kepala keluarga yang ditinggal kawin oleh suaminya. Dia menanggung beban seorang diri untuk menghidupi kedua anak dan ibunya yang sudah tua. Beban bertambah berat, karena Anas terikat dengan aturan adat, ketika ada anggota keluarga, kerabat atau tetangga yang meninggal, keluarganya tetap mempunyai kewajiban untuk menyerahkan 3 – 4 kain sarung tenun buatannya. Kain tenun yang per helainya diselesaikan dalam waktu 4 hari harus diserahkan kepada orang lain, tidak bisa ditawar lagi. Bukan itu saja, anaknya yang diurusnya sedari kecil, ketika sudah dewasa nanti akan menjadi milik keluarga laki-laki meskipun suaminya tidak menafkahi.


Itulah sepenggal cerita dari narasumber yang kami wawancarai. Kepedihan, kemiskinan, perjuangan hidup, ketabahan, menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Kehidupan yang sarat dengan beban mereka jalani dengan kepatuhan tanpa syarat. Aturan adat yang menempatkan perempuan pada lapisan terbawah dalam tatanan kehidupan di masyarakat, mereka jalani dengan kepasrahan tanpa pilihan, bahkan mereka tidak mampu menentukan hidupnya sendiri. Aku kagum akan kegigihan, semangat dan keikhlasan mereka menjalani hidup. Aku benar-benar merasa tidak berarti dihadapan mereka.


Salah satu isu yang akan kami angkat dalam film adalah persoalan adat yang banyak menyebabkan perempuan terpinggirkan. Salah satunya tentang budaya belis.


Perkawinan di Adonara dan Flores Timur pada umumnya, ditandai dengan pemberian belis (mahar) berupa gading gajah yang menurut logika tidak akan ditemui di daratan Adonara. Belis yang bernilai sangat tinggi yang diberikan oleh pihak laki-laki mengandung pemahaman bahwa perempuan telah dibeli dan menjadi milik keluarga atau suku dari pihak laki-laki. Ini mengakibatkan laki-laki seolah-olah bebas untuk memperlakukan istri sesuai kehendaknya.


Dan tentu saja penyebab utama dari semua permasalahan adalah budaya patriarki yang sudah mengurat mengakar, yang dipatuhi kebanyakan orang melebihi kepatuhan akan agama.


Banyak hal menarik ketika kami melakukan proses pengambilan gambar, terutama saat kami mengambil prosesi adat pernikahan. Malam kedua di Adonara, di lapangan depan balai desa banyak orang berkerumun. Hampir seluruh penduduk kampung ingin melihat kami beraksi mengambil gambar. Para perempuan duduk di samping kiri lapangan dengan berselimutkan kain tenun, berderet rapi bagai duduk di bangku bioskop menanti film diputar. Para tetua adat dan tokoh masyarakat duduk di bagian depan dengan kursi yang khusus disediakan bagi mereka. Sementara di sisi lain, para pemuda berdiri dan bercengkrama, mengepulkan asap rokok dari mulut dan hidung mereka. Bagi mereka, mungkin ini hiburan yang menyenangkan. Dengan lampu-lampu petromak sebagai alat penerang karena aliran listrik yang tak menentu. Beruntung kami bisa mempunyai cadangan baterai yang cukup untuk proses syuting. Kami disambut bak rombongan pejabat, dengan upacara adat, dengan tarian-tarian tradisional, dikalungi selendang tenun satu persatu. Mereka dengan ramah menyapa kami, terutama Anna karena dia berasal dari Malaysia. Bagi mereka, nama Malaysia begitu akrab di telinga karena banyak diantara mereka yang menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai pekerja migran di Malyasia.


Aku hampir tak percaya dengan yang kulihat saat itu, pengambilan gambar proses pernikahan yang dalam bayanganku hanya akan dihadiri sebagian orang, ternyata tidak demikian. Begitu meriah seakan itu pesta pernikahan sungguhan. Beberapa ekor kambing jantan yang besar dengan tanduk panjangnya digiring ke tengah lapangan. Gading gajah, sebagai mahar atau belis diarak beberapa orang laki-laki. Mempelai pria dan perempuan berperan bak pengantin sungguhan. Tanpa casting, tanpa skenario, tanpa naskah cerita. Dalam pesta itu, ditampilkan juga kesenian-kesenian tradisional, mulai dari tari bambu, kidung, tari perang dan banyak lagi yang tak kuingat semuanya. Para perempuan tua menari dan bernyanyi, nyanyian yang akhirnya kutahu sebagai keluh kesah para perempuan yang ditinggal suami. Pengambilan gambar prosesi pernikahan adat berlangsung dengan lancar. Hampir tengah malam kami baru pulang ke tempat penginapan. Rasa lelah mendera, namun aku puas dengan apa yang aku kerjakan hari itu.


Akhirnya proses syuting yang melelahkan usai. Kami kembali ke Bali membawa material gambar untuk dilakukan penyuntingan. Proses penyuntingan dilakukan di kantor Yayasan Wisnu di Bali dan menghabiskan waktu 3 hari. Setelah proses penyuntingan selesai dilakukan, kami memberi judul “Melawan Bayangan, Menenun Masa Depan”. Judul tersebut mengandung arti bahwa bagi siapapun yang ingin melakukan perubahan terhadap budaya, terhadap kesenjangan yang terjadi, ibarat melawan bayangan, sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan. Namun tidak ada yang tidak mungkin dilakukan, hanya perlu kesabaran dan proses yang terus menerus seperti seorang perempuan yang dengan tekun dan teliti menenun lembar demi lembar benang menjadi sehelai kain. Ketika kami menonton bersama film yang telah diedit, aku masih bisa merasakan haru, meski aku terlibat penuh dalam proses pengambilan gambar.


Adonara menyimpan banyak cerita. Adonara mengajariku banyak hal. Adonara membuatku rindu untuk kembali.


Salam

Senin, 17 Desember 2012

SETENGAH JAM SAJA


Aku melihat raut wajah perempuan paruh baya itu begitu sumringah, namun tetes air matanya tak kuasa ia bendung, entah sedih, entah terharu, entah juga bahagia atau apa. Aku tak tahu pasti asa yang ada di benaknya, ketika malam itu ia menerima pemberian sebuah kursi roda untuk anak laki-laki satu-satunya, setelah belasan tahun dinantinya.

Anastasia Kidi Sabon nama perempuan paruh baya itu. Anas nama panggilannya.  Berambut kriting, berkulit legam dengan gurat-gurat tegas pada raut wajahnya. Penampilan fisiknya menyiratkan ia seorang pekerja keras,  seorang penyintas kehidupan dengan segala keterbatasannya. Anas, demikian ia dipanggil, adalah penduduk asli di desa Pledo, kecamatan Witihama, di sebuah pulau bernama Adonara, Nusa Tenggara Timur. Sebuah pulauyang hanya terlihat seperti noktah hitam dalam buku peta Indonesia.

Anas tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah sederhana, berdinding tembok meski tanpa plester dan cat, beratap seng tanpa plafon. Sekilas nampak tidak ada hal yang istimewa yang terjadi di rumah ini. Namun, dugaanku meleset kawan. Di rumah inilah aku mendengar cerita utuh tentang perjuangan hidup, melihat potret dan gambar muram penderitaan hidup yang lengkap. Rumah itu bukan miliknya, kawan. Dia hanya menumpang di rumah yang tidak dihuni pemiliknya itu. Itupun, tidak lama lagi Anas harus pindah dan tencari tempat hunian baru, karena rumah yang ditempatinya saat ini akan segera diambilalih oleh pemiliknya. Semula ia tinggal di rumah warisan orang tuanya, namun karena adat yang menentukan bahwa rumah warisan hanya diperuntukkan utuk anak laki-laki paling kecil di keluarganya, hingga Anas harus ‘terusir’ dari rumahnya dan menempati rumah pinjaman itu hingga saat ini. Aturan adat di Adonara sangat dipegang teguh oleh seluruh anggota masyarakat, menjadi acuan utama dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat keluarga maupun tetua-tetua adat dalam pengambilan keputusan yang lebih luas di masyarakat.

Di keluarganya, Anas adalah pemimpin dan pengayom sejati bagi suami dan anak laki-laki satu- satunya. Kepala keluarga sesungguhnya. Perlu kau tahu kawan, suami yang dicintai dan dilindunginya itu menderita kebutaan total pada kedua matanya lebih kurang 11 tahun yang lalu. Konon ketika ia masih kecil, kepala bagian belakangnya tertimpa dahan pohon hingga ia jatuh pingsan di kebun. Tak ada orang lain yang melihat dan menolongnya hingga ia siuman dan pulang ke rumah sendirian. Mungkin, itulah yang menjadi penyebab kebutaan pada kedua matanya 30an tahun kemudian. Laki-laki itu kini hanya bisa menggantungkan hidup kepada sang istri, tidak punya pekerjaan apa-apa. Sesosok laki-laki lain yang menjadi tanggungjawab Anas adalah anak semata wayangnya, Ebi namanya. Ia yang kini duduk di bangku SMA kelas 2, menderita cacat pada kedua kakinya sejak kecil. Mungkin dulu terkena folio, pikirku. Hingga kini, ia harus berjuang keras untuk berjalan dengan cara menyeret-nyeret kedua kakinya. Begitu setiap hari kawan, hingga di kedua telapak kakinya yang tidak sempurna itu, tumbuh benjolan-benjolan keras yang biasa orang sebut ‘kapalan’. Namun dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, ia tetap gigih untuk meneruskan sekolahnya.

Kondisi ini memaksa Anas menjadi penopang utama di keluarganya. Sudah belasan tahun Anas dan keluarganya menjalani hidup sedemikian getir. Berkubang  dalam genangan kemiskinan yang demikian hitam dan berbau. Demi menyambung hidup dan menafkahi kedua orang yang dicintainya itu, sehari-hari Anas bekerja mencari upahan untuk membersihkan kebun milik orang lain. “Kalau saya bawa bekal sendiri, saya diberi duapuluh lima ribu sehari. Tetapi kalau tidak bawa bekal dan diberi makan oleh yang punya kebun, saya diberi lima belas ribu”.  Lima belas ribu rupiah, kawan. Uang sejumlah itulah yang dibawanya pulang saat hari menjelang petang. Penghasilan yang jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonsia. Pun, belum tentu setiap hari ada orang yang memberinya pekerjaan membersihkan kebun. Jika tidak ada orang yang membutuhkannya membersihkan kebun, Anas juga biasa menjadi buruh mengangkat pasir. Kerja kasar apapun ia lakukan demi keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Sebuah potret kemiskinan yang akut.

Tentu kau bertanya-tanya, kawan. Bagaimana ia bisa pergi meninggalkan kedua orang yang dikasihinya itu di rumah, sedang mereka semua sangat bergantung pada pertolongan orang lain? Setiap pagi ia harus menyiapkan segala kebutuhan suami dan anaknya, menyediakan sarapan, mengantar dan memapah anaknya ke sekolah. Ia pun harus meletakkan segala kebutuhan suami pada tempat yang telah mereka atur sebelumnya, agar suaminya ketika tidak ada orang lain di rumah melayani sendiri meski ia tak bisa melihat apa-apa. Di siang hari ia masih harus menjemput anaknya di sekolah dan mengantarnya pulang ke rumah, dan setelah itu ia kembali ke kebun untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebuah sketsa penderitaan dan perjuangan hidup yang lengkap, kawan.

Sudah belasan tahun Anas bercita-cita dan memimpikan sebuah kursi roda untuk anak yang dicintainya. Agar tidak lagi ia melihat anaknya berjalan dengan menyeret-nyeret kedua kakinya. Namun itu hanya angan dan mimpi saja, dia tidak tahu lagi cara mendapatkan uang untuk membelinya. Anas pun lantas berusaha mengajukan permohonan bantuan pada dinas sosial di kabupaten Flores Timur. Sudah puluhan kali Anas bolak-balik ke  kantor dinas sosial di kabupaten, untuk mengurus permohonan bantuan kursi roda itu, meski harus menempuh perjalanan jauh melalui jalan darat dan menyeberangi laut. Namun, sudah bisa ditebak. Seperti biasanya. Yang dibawaanya pulang hanyalah janji-janji. Seakan para pejabat pemerintahan itu merasa sudah memenuhi kewajibannya dengan memberikan janji yang hingga saat ini tidak pernah diwujudkannya. Seperti janji-janjinya para politikus saat pilkada dan pemilu tiba, begitu betebaran, dijual murah, diobral bahkan digratiskan bagi siapa saja yang mau menjadi pengikutnya. Namun saat mereka terpilih menjadi anggota dewan dan duduk di pemerintahan, mereka dipastikan lupa, pura-pura lupa atau belajar menjadi pelupa atas segala janji busuknya.

Namun malam itu, aku menyaksikan serombongan ibu-ibu yang mempunyai nasib dan kehidupan yang hampir sama dengan yang dialami Anas, membawakan sebuah kursi roda untuk anaknya. Sebuah kepedulian sosial yang tulus dan ikhlas. Sebuah kepedulian sosial yang didasari oleh rasa kebersamaan, rasa senasib. “Ini kami beli dari dana iuran anggota kelompok yang dikhususkan untuk bantuan-bantuan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan seperti keluarga Anas”, ujar salah satu orang perwakilan dari mereka. Para perempuan ini tergabung ke dalam wadah kelompok perempuan kepala keluarga, komunitas bagi perempuan yang menjadi penopang dan tumpuan hidup bagi keluarganya dengan berbagai sebab, seperti halnya Anas.

Saat  Anas menerima pemberian kursi roda itu, aku melihat raut wajah perempuan paruh baya itu begitu sumringah, namun tetes air matanya tak kuasa ia bendung, entah sedih, entah terharu, entah juga bahagia atau apa. Aku tak tahu pasti asa yang ada di benaknya, ketika malam itu ia menerima pemberian sebuah kursi roda untuk anak laki-laki satu-satunya, setelah belasan tahun dinantinya. Hanya setengah jam saja aku berada di rumah itu, namun begitu banyak pelajaran dan cerita yang aku dapat. Setengah jam saja, aku menyaksikan sendiri  kisah nyata perjuangan dan penderitaan sebuah keluarga dalam himpitan kemiskinan dan kepasrahan tanpa syarat.

Sementara itu, aku menyaksikan sang kepala negara yang sebagian kader partainya sedang terseret kasus korupsi, berpidato di sebuah televisi swasta, dan mengatakan bahwa “kita harus melindungi para pejabat pemerintah yang terseret kasus sementara sebetulnya mereka tidak berniat untuk melakukan tindak korupsi”. Meski aku tidak begitu paham apa maksud dari ucapannya itu, tapi kalimat itu terasa menyakitkan menurutku, mereka tak pantas dibela, biarkan mereka mempertanggungjawabkan perbuatannya, biarkan proses hukum yang membuktikannya. Mungkin, sang presiden tidak pernah sekalipun menyaksikan potret buram keluarga Anas, tidak pernah mendengar cerita-cerita muram dari kerak kemiskinan yang keras menghitam, dan.... pahit.

Salam