Rabu, 01 Juli 2020

SOLE OHA

Tarian Peluruh Duka

Tangan tangan mereka berpegangan erat satu sama lain, lengan bertemu lengan, laki-laki dan perempuan, tua muda, tanpa sekat, tanpa batas agama, terus terjalin hingga membentuk sebuah lingkaran. Prinsip mereka adalah satu, siapapun yang masuk ke dalam lingkaran adalah keluarga. Melalui tangan-tangan yang terpaut erat, mereka berbagi energi positif. Semua mengenakan kain sarung, atau paling tidak hampir semua berkain sarung. Mereka menari bersama, dengan langkah-langkah berirama ke kiri dan ke kanan, tangan tetap berpegangan erat, dipadu bunyi hentakan langkah serentak dan bunyi gemerincing dari lonceng kaki yang dipasang pada 2 atau 3 orang lelaki yang berperan sebagai pemandu tari dan pelantun lagu. Di tanah lapang, di keheningan malam, terus berputar, derap kaki dan gemerincing lonceng, cahaya bulan yang sedikit redup serta semilir hembusan angin dari laut, pusaran energi dan suasana magis tercipta.

“Go niku lau, go gelak rae, nuan ti go peten ema noon bapa, bapa piara, ema menjaga, jaga ana moen nuan susah tudak”. Itulah syair pembuka yang sering saya dengar yang biasa mereka nyanyikan secara bersama. Belakangan saya tahu arti syair itu, “Saya melihat ke kiri, saya melihat ke kanan, dalam lingkaran saya teringat emak dan bapak, bapak yang memelihara, emak yang merawat, merawat anak dalam suka maupun duka”. Syair yang sederhana namun mengandung arti yang luar biasa, tentang keluarga, tentang keseharian mereka. Lalu, syair demi syair dilantunkan secara bergiliran, mirip dengan berbalas pantun. Ada syair berisi pujian, candaan dan sindiran, namun mereka kerap mencurahkan isi perasaan melalui lantunan syair yang mereka ciptakan sendiri, tak jarang pula mereka berbagi kisah dan perjalanan hidup. Bahkan menurut mereka konflik dan sengketa pribadi diantara mereka bisa diselesaikan saat itu melalui lantunan syair. Meski saya tidak mengerti secara utuh apa yang mereka lantunkan, namun saya bisa tertawa, bisa merasakan kesedihan yang mereka sampaikan, bisa merasakan semangat yang dibangun bersama. Ada potret kehidupan dalam lingkaran ini, ada lembaran cerita yang mereka cipta. 

Ritme tiba-tiba berubah lebih kencang, dikomandoi oleh pemandu tari dan pelantun lagu berlonceng kaki yang meneriakkan syair dengan suara lebih lantang. Lantas iramapun berubah, hanya pelantun lagu yang terus bernyanyi, bertutur tentang apapun yang saat itu menjadi topik utama. Jika ada 2 orang pelantun lagu, maka mereka lah yang akan bergantian bernyanyi dan menjadi komando. Tidak ada syair dan lagu yang sama untuk setiap acara tarian ini, para pelantun lagu ini secara spontan mencipta syair-syair yang mereka sesuaikan dengan tema acara pada hari itu. Konon hanya tinggal beberapa orang saja yang mempunyai kemampuan sebagai pelantun sole, itu pun rata-rata usianya sudah menjelang senja. Semakin malam, warga yang semula hanya menjadi penonton pun mulai bergabung ke dalam lingkaran. Jika tidak cukup ruang, mereka membentuk lingkaran-lingkaran baru yang bisa mencapai 2 atau 3 lapis lingkaran. Semakin lama, ritme tarian semakin cepat, pelantun sole makin kencang meneriakkan syair, tempo semakin memuncak.

Tarian mendadak berhenti dengan serentak saat sang komandan menghentikan syairnya dengan sebuah hentakan gerak. Saya melihat wajah-wajah mereka sumringah, penuh tawa, seperti hilang semua duka dan nestapa. Lingkaran pun bubar, mereka kembali duduk ke tempatnya semula. Namun itu tidak berlangsung lama, setelah istirahat sejenak dan menikmati makanan dan minuman yang tersedia, mereka segera membentuk lingkaran kembali, bernyanyi dan menari bersama, satu, dua hingga tiga lingkaran. Tarian yang serupa namun syair dan cerita yang berbeda. Mereka bisa melakukan ini hingga pagi menjelang, bahkan bisa berlanjut sampai 2 atau 3 hari siang dan malam. “Tarian ini juga sebagai wujud syukur atas segala peristiwa”, tutur seorang pelantun sole saat saya bertanya.

Tarian Sole Oha adalah tarian yang berasal dari suku Lamaholot yang tersebar di Lembata, Adonara, Solor dan Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dilestarikan secara turun temurun, tarian ini merupakan tarian kegembiraan yang menyatukan gerak, kisah dan nyanyian. Saya sangat beruntung masih bisa menyaksikan kembali tarian ini pada kegiatan Pesta Tenun “Sole Oha Balik Lewo” di Adonara dan Lembata, Nusa Tenggara Timur tanggal 22 dan 24 September lalu. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan PEKKA, Torajamelo dan Serikat Pekka Flotim dan Lembata dengan dukungan pendanaan dari MAMPU.

Tarian ini pula yang dipakai oleh kader-kader pendamping Pekka di sana, untuk mengorganisir dan mengumpulkan para perempuan kepala keluarga. Kini mereka telah terorganisir selama lebih dari 15 tahun dalam satu wadah Serikat Perempuan Kepala Keluarga. Mereka saling berbagi cerita, terbiasa melepaskan segala penat dan tumpukan persoalan, meluruhkan perih dan segala duka dalam satu lingkaran “Sole Oha”.

Jakarta, 15 Oktober 2018.