Selasa, 22 Januari 2013

SEKOLAH DASAR, GOLOK DAN OBOR DARI BAMBU


Hari itu sungguh merupakan salah satu hari yang paling membahagiakan dalam hidupku. Anak-anak sebayaku ramai berkumpul di halaman tajug (mushala) tidak jauh dari rumahku. Hari itu adalah hari bersejarah bagi sebuah kampung yang bernama dusun Cipipisan, kampung yang sangat jauh dari keramaian, jauh dari hiruk pikuk, bahkan kampung ini terpisah dari desa induknya, desa Bunigeulis. Untuk pergi ke desa pun butuh waktu satu jam berjalan kaki, kurang lebih 5 kilometer jauhnya. Sebuah dusun yang dikelilingi hutan, sawah dan perbukitan, nyaris tidak ada tanah lapang dan datar. Terjal. Nyaris tidak ada kendaraan yang lewat di kampungku, kalaupun ada hanya mobil bak terbuka yang sanggup melawan medan yang begitu berat. Jenis kendaraan yang menjadi andalan kami untuk bepergian, selain truk.

Itulah gambaran kampung halaman tempatku dilahirkan, kawan. Kampung yang masih hijau, hampir tidak terjamah oleh peradaban, tanpa listrik, tanpa televisi, satu-satunya sarana hiburan bagi kami hanya bunyi radio transistor yang sering bersahut-sahutan dari rumah-rumah tetanggaku, alunan musik jaipong, wayang golek, dangdut dan jika sore hari siaran dongeng bahasa sunda. Begitupun dengan kebiasaan anak-anak di kampungku, gemar bermain dengan alam, mencari kayu bakar, menyabit rumput untuk makanan kambing, berenang dan mancing di sungai yang airnya jernih, dan kegiatan lain yang akrab dengan alam. Namun terkadang aku iri dengan mereka, aku tidak banyak mempunyai kesempatan sebebas mereka. Orang tuaku, terutama ibu kerap melarang aku memanjat pohon, mencari kayu bakar di hutan, mandi di sungai bahkan terlarang hanya untuk bermain panas-panasan. “Nanti kamu sakit”, begitu katanya. Akhirnya aku bisa maklum mengapa banyak larangan untukku. Konon waktu aku masih bayi, harapan hidupku sangat tipis, tubuhku tak ubahnya seperti wayang golek, wayang yang terbuat dari kayu. Lemas, hanya kulit pembalut tulang.

Aku suka sekali dengan bubur buatan ibuku, kawan. Kalau aku sakit demam, aku sering dibuatkan bubur. Karena saking sukanya dengan bubur, setiap kali ibuku melarang untuk bermain panas-panasan, aku sering jawab “biar saja aku sakit, nanti kan ibu buatkan bubur buat aku”.

Aku keluar dari rumahku dengan baju yang terbaru, dengan sepatu yang baru dibelikan ayahku dari pasar. Ya, hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah bahkan hari itulah hari pertama ada sekolah di kampungku. Sebelumnya sekolah dasar hanya ada di desa yang letaknya jauh dari tempat tinggalku, harus berjalan kaki 5 kilometer. Pertanyaannya adalah, mengapa kami kumpul di Tajug, tidak di halaman sekolah? Karena belum ada bangunan sekolah di kampung kami. Satu-satunya bangunan yang bisa dipakai untuk kebutuhan publik hanya Tajug itu.  Tajug itupun jarang dipakai, masyarakat di kampungku pada saat itu memang bukan orang-orang yang memahami dan menjalani agamanya dengan baik, terutama dalam menjalakan ibadah yang berhubungan dengan Tuhannya. Hanya ketika shalat tarawih di bulan puasa saja tajug itu berguna, selebihnya hanya bangunan kosong tempat anak-anak bermain petak umpet dan perang-perangan.

Semua bergembira saat itu, dengan pakaian-pakaian terbaiknya kurang lebih 20 orang anak berjalan dari berbagai arah menuju ‘sekolah’ itu dengan membawa kursi dan meja. Karena belum ada sarana apapun di sekolah itu, maka kami diwajibkan membawa kursi sendiri dan satu meja untuk dua orang anak. Hanya ada satu perangkat fasilitas di sekolah itu, papan tulis dan kapur, plus sebilah golok dan obor dari bambu. Mengapa golok dan obor aku sebut kawan? Ah.. nanti kau tau sendiri jawabannya. Saat itu umurku baru 5 tahun, padahal syarat awal untuk masuk sekolah dasar harus berumur 7 tahun. Namun karena kekurangan murid di sekolahku, pak guru membujuk ibuku untuk menyekolahkanku saat itu. Awalnya ibuku hanya ingin aku ikut-ikut saja, bermain-main saja tanpa dimasukkan dalam daftar siswa kelas 1. Satu per satu nama-nama dipanggil oleh pak guru. Setiap nama yang dipanggil kami harus mengacungkan tangan dan mengatakan “ada”. Nama-nama perempuan dipanggil terlebih dahulu, “Suheni, Suprihatin, Syamsiah, Suhartati,……..” barulah kemudian nama-nama anak laki-laki yang dipanggil. “Sukidi, Nahridi, Muhadi, Darwa, Ermawan, Sukiwa,…. Rudianto,….”. Ah, nama-nama yang unik bukan? Kecuali namaku kawan. Namaku sangat berbeda dengan kebanyakan, seperti nama orang bersuku Jawa. Entah mengapa orangtuaku memberiku nama Rudianto, aku pun tidak pernah mempertanyakannya. Akhirnya aku terdaftar secara resmi sebagai anggota pasukan kelas 1. Anggota pasukan termuda di kelas itu.

Tidak banyak yang aku ingat saat-saat awal aku bersekolah, belajar membaca dan menulis, berhitung, menyanyi dan menggambar, bermain-main di halaman saat waktu istirahat, itu saja. Namun ada hal yang paling tidak pernah bisa aku lupakan hingga saat ini. Pak Guru. Dialah satu-satunya guru dan kepala sekolah di sekolah kami. Kami semua takut padanya. Dia cukup keras mengajari kami, suara bentakannya, sentilan jari tangannya di kuping, rambut di pelipis kami yang sering ditarik kalau salah menjawab atau dianggap tidak disiplin. Yang lebih menyeramkan lagi, dia sering memutar-mutar golok saat sedang mengajar atau mengawasi anak-anak yang sedang mengerjakan soal, bahkan pernah satu hari dia membawa obor yang menyala dalam kelas, jika ada yang salah menjawab atau mulutnya tidak bisa diam, tanpa segan dia akan menghampiri kami, menyorongkan obor yang menyala-nyala di hadapan wajah kami. Cukup dramatis dan menegangkan, bukan? Itulah mengapa aku katakan tadi kalau perangkat kelas yang kami punya termasuk golok dan obor dari bambu. Tapi di luar kelas, dia guru yang baik hati, kawan.

Setahun kemudian, barulah kampung kami mendapat bantuan bangunan sekolah dari pemerintah, sebuah SD Inpres impian kami. SD Lokasari namanya. Guru-guru pun mulai berdatangan mengisi kelas-kelas, mengisi bidang-bidang studi. Sekolahku kini dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang termasuk perpustakaan sekolah. Tidak ada lagi golok dan obor dari bambu. Aku sangat suka mengunjungi perpustakaan, meski harus membayar agar aku bisa meminjam buku dan membawanya pulang. Uang jajan dua puluh lima rupiah perhari, kerap aku gunakan untuk meminjam buku perpustakaan. Setiap hari, kawan. Uang duapuluh lima rupiah bisa memperoleh 2 buah buku, dan aku akan segera mengembalikan keesokan harinya, meski masa tenggang peminjaman buku bisa 3 hari. Karena kegemaranku membaca buku, aku pernah mendapat penghargaan dari sekolah. Saat upacara bendera namaku diumumkan sebagai pembaca buku terbanyak, 666 buah buku. Saat itu aku duduk di kelas 4. Kalau dihitung hingga kelas 6 aku rasa lebih dari 1.000 buah buku yang pernah aku baca. Sebuah prestasi yang saat ini aku rasa tidak akan bisa diulangi lagi.

Di sekolah ini juga aku belajar berbisnis, kawan. Dan sebetulnya aku punya bakat bisnis. Selain bertani, orang tuaku juga mempunyai warung yang menyatu dengan rumah kami. Berjualan kebutuhan sehari-hari, jajanan anak-anak bahkan mie bakso. Setiap hari aku selalu membawa dagangan yang aku bawa dengan kantong plastik untuk dijajakan kepada teman-teman sekolah dan para guru. Pulang sekolah aku menghitung hasilnya dan memberikannya kepada ibuku. Hasilnya lumayan, bisa membantu orang tua. Dan lebih lagi, aku bisa belajar berusaha sendiri, belajar bernegosiasi, belajar jujur atas apa yang aku dapat.

Sekolah kami juga kedatangan guru agama, kami memanggilnya pak ustadz. Dialah orang yang sangat berjasa membangun kampung kami menjadi lebih religius. Tajug tidak lagi sepi dan hanya tempat bermain anak-anak, setiap sore anak-anak berkumpul untuk bejalar mengaji dan shalat berjamaah, begitu juga aku. Dan mulai saat itu pula didirikan shalat Jum’at di kampung kami, yang sebelumnya harus pergi ke Desa hanya untuk shalat Jum’at.

Ah, kelebat-kelebat bayangan masa kecilku sering menghampiri dan menemaniku saat-saat aku merenungi perjalanan ini.