Hari itu sungguh merupakan salah satu hari
yang paling membahagiakan dalam hidupku. Anak-anak sebayaku ramai berkumpul di
halaman tajug (mushala) tidak jauh dari rumahku. Hari itu adalah hari
bersejarah bagi sebuah kampung yang bernama dusun Cipipisan, kampung yang
sangat jauh dari keramaian, jauh dari hiruk pikuk, bahkan kampung ini terpisah
dari desa induknya, desa Bunigeulis. Untuk pergi ke desa pun butuh waktu satu
jam berjalan kaki, kurang lebih 5 kilometer jauhnya. Sebuah dusun yang
dikelilingi hutan, sawah dan perbukitan, nyaris tidak ada tanah lapang dan
datar. Terjal. Nyaris tidak ada kendaraan yang lewat di kampungku, kalaupun ada
hanya mobil bak terbuka yang sanggup melawan medan yang begitu berat. Jenis
kendaraan yang menjadi andalan kami untuk bepergian, selain truk.
Itulah gambaran kampung halaman tempatku
dilahirkan, kawan. Kampung yang masih hijau, hampir tidak terjamah oleh
peradaban, tanpa listrik, tanpa televisi, satu-satunya sarana hiburan bagi kami
hanya bunyi radio transistor yang sering bersahut-sahutan dari rumah-rumah
tetanggaku, alunan musik jaipong, wayang golek, dangdut dan jika sore hari
siaran dongeng bahasa sunda. Begitupun dengan kebiasaan anak-anak di kampungku,
gemar bermain dengan alam, mencari kayu bakar, menyabit rumput untuk makanan
kambing, berenang dan mancing di sungai yang airnya jernih, dan kegiatan lain
yang akrab dengan alam. Namun terkadang aku iri dengan mereka, aku tidak banyak
mempunyai kesempatan sebebas mereka. Orang tuaku, terutama ibu kerap melarang
aku memanjat pohon, mencari kayu bakar di hutan, mandi di sungai bahkan terlarang
hanya untuk bermain panas-panasan. “Nanti kamu sakit”, begitu katanya. Akhirnya
aku bisa maklum mengapa banyak larangan untukku. Konon waktu aku masih bayi,
harapan hidupku sangat tipis, tubuhku tak ubahnya seperti wayang golek, wayang
yang terbuat dari kayu. Lemas, hanya kulit pembalut tulang.
Aku suka sekali dengan bubur buatan ibuku,
kawan. Kalau aku sakit demam, aku sering dibuatkan bubur. Karena saking sukanya
dengan bubur, setiap kali ibuku melarang untuk bermain panas-panasan, aku
sering jawab “biar saja aku sakit, nanti kan ibu buatkan bubur buat aku”.
Aku keluar dari rumahku dengan baju yang
terbaru, dengan sepatu yang baru dibelikan ayahku dari pasar. Ya, hari itu
adalah hari pertamaku masuk sekolah bahkan hari itulah hari pertama ada sekolah
di kampungku. Sebelumnya sekolah dasar hanya ada di desa yang letaknya jauh
dari tempat tinggalku, harus berjalan kaki 5 kilometer. Pertanyaannya adalah,
mengapa kami kumpul di Tajug, tidak di halaman sekolah? Karena belum ada
bangunan sekolah di kampung kami. Satu-satunya bangunan yang bisa dipakai untuk
kebutuhan publik hanya Tajug itu. Tajug
itupun jarang dipakai, masyarakat di kampungku pada saat itu memang bukan
orang-orang yang memahami dan menjalani agamanya dengan baik, terutama dalam
menjalakan ibadah yang berhubungan dengan Tuhannya. Hanya ketika shalat tarawih
di bulan puasa saja tajug itu berguna, selebihnya hanya bangunan kosong tempat
anak-anak bermain petak umpet dan perang-perangan.
Semua bergembira saat itu, dengan
pakaian-pakaian terbaiknya kurang lebih 20 orang anak berjalan dari berbagai
arah menuju ‘sekolah’ itu dengan membawa kursi dan meja. Karena belum ada sarana
apapun di sekolah itu, maka kami diwajibkan membawa kursi sendiri dan satu meja
untuk dua orang anak. Hanya ada satu perangkat fasilitas di sekolah itu, papan
tulis dan kapur, plus sebilah golok dan obor dari bambu. Mengapa golok dan obor
aku sebut kawan? Ah.. nanti kau tau sendiri jawabannya. Saat itu umurku baru 5
tahun, padahal syarat awal untuk masuk sekolah dasar harus berumur 7 tahun.
Namun karena kekurangan murid di sekolahku, pak guru membujuk ibuku untuk
menyekolahkanku saat itu. Awalnya ibuku hanya ingin aku ikut-ikut saja,
bermain-main saja tanpa dimasukkan dalam daftar siswa kelas 1. Satu per satu
nama-nama dipanggil oleh pak guru. Setiap nama yang dipanggil kami harus
mengacungkan tangan dan mengatakan “ada”. Nama-nama perempuan dipanggil terlebih
dahulu, “Suheni, Suprihatin, Syamsiah, Suhartati,……..” barulah kemudian
nama-nama anak laki-laki yang dipanggil. “Sukidi, Nahridi, Muhadi, Darwa,
Ermawan, Sukiwa,…. Rudianto,….”. Ah, nama-nama yang unik bukan? Kecuali namaku
kawan. Namaku sangat berbeda dengan kebanyakan, seperti nama orang bersuku
Jawa. Entah mengapa orangtuaku memberiku nama Rudianto, aku pun tidak pernah
mempertanyakannya. Akhirnya aku terdaftar secara resmi sebagai anggota pasukan
kelas 1. Anggota pasukan termuda di kelas itu.
Tidak banyak yang aku ingat saat-saat awal
aku bersekolah, belajar membaca dan menulis, berhitung, menyanyi dan
menggambar, bermain-main di halaman saat waktu istirahat, itu saja. Namun ada
hal yang paling tidak pernah bisa aku lupakan hingga saat ini. Pak Guru. Dialah
satu-satunya guru dan kepala sekolah di sekolah kami. Kami semua takut padanya.
Dia cukup keras mengajari kami, suara bentakannya, sentilan jari tangannya di
kuping, rambut di pelipis kami yang sering ditarik kalau salah menjawab atau
dianggap tidak disiplin. Yang lebih menyeramkan lagi, dia sering memutar-mutar
golok saat sedang mengajar atau mengawasi anak-anak yang sedang mengerjakan
soal, bahkan pernah satu hari dia membawa obor yang menyala dalam kelas, jika
ada yang salah menjawab atau mulutnya tidak bisa diam, tanpa segan dia akan
menghampiri kami, menyorongkan obor yang menyala-nyala di hadapan wajah kami.
Cukup dramatis dan menegangkan, bukan? Itulah mengapa aku katakan tadi kalau
perangkat kelas yang kami punya termasuk golok dan obor dari bambu. Tapi di
luar kelas, dia guru yang baik hati, kawan.
Setahun kemudian, barulah kampung kami
mendapat bantuan bangunan sekolah dari pemerintah, sebuah SD Inpres impian kami.
SD Lokasari namanya. Guru-guru pun mulai berdatangan mengisi kelas-kelas,
mengisi bidang-bidang studi. Sekolahku kini dilengkapi dengan berbagai
fasilitas penunjang termasuk perpustakaan sekolah. Tidak ada lagi golok dan
obor dari bambu. Aku sangat suka mengunjungi perpustakaan, meski harus membayar
agar aku bisa meminjam buku dan membawanya pulang. Uang jajan dua puluh lima
rupiah perhari, kerap aku gunakan untuk meminjam buku perpustakaan. Setiap
hari, kawan. Uang duapuluh lima rupiah bisa memperoleh 2 buah buku, dan aku
akan segera mengembalikan keesokan harinya, meski masa tenggang peminjaman buku
bisa 3 hari. Karena kegemaranku membaca buku, aku pernah mendapat penghargaan
dari sekolah. Saat upacara bendera namaku diumumkan sebagai pembaca buku
terbanyak, 666 buah buku. Saat itu aku duduk di kelas 4. Kalau dihitung hingga
kelas 6 aku rasa lebih dari 1.000 buah buku yang pernah aku baca. Sebuah
prestasi yang saat ini aku rasa tidak akan bisa diulangi lagi.
Di sekolah ini juga aku belajar berbisnis,
kawan. Dan sebetulnya aku punya bakat bisnis. Selain bertani, orang tuaku juga
mempunyai warung yang menyatu dengan rumah kami. Berjualan kebutuhan
sehari-hari, jajanan anak-anak bahkan mie bakso. Setiap hari aku selalu membawa
dagangan yang aku bawa dengan kantong plastik untuk dijajakan kepada
teman-teman sekolah dan para guru. Pulang sekolah aku menghitung hasilnya dan
memberikannya kepada ibuku. Hasilnya lumayan, bisa membantu orang tua. Dan
lebih lagi, aku bisa belajar berusaha sendiri, belajar bernegosiasi, belajar
jujur atas apa yang aku dapat.
Sekolah kami juga kedatangan guru agama, kami
memanggilnya pak ustadz. Dialah orang yang sangat berjasa membangun kampung
kami menjadi lebih religius. Tajug tidak lagi sepi dan hanya tempat bermain
anak-anak, setiap sore anak-anak berkumpul untuk bejalar mengaji dan shalat
berjamaah, begitu juga aku. Dan mulai saat itu pula didirikan shalat Jum’at di
kampung kami, yang sebelumnya harus pergi ke Desa hanya untuk shalat Jum’at.
Ah, kelebat-kelebat bayangan masa kecilku sering
menghampiri dan menemaniku saat-saat aku merenungi perjalanan ini.