9 April. Ah, tentu kau sudah tahu arti tanggal itu, kawan. Dan
pasti kau juga sudah bisa menebak apa yang akan aku tuliskan. Ya, belum lama
berlalu hingar bingar pesta demokrasi 5 tahunan di republik kita tersayang.
Pesta rakyat, lebih tepatnya. Inilah saat-saat dimana semua warga negara berhak
secara langsung menyampaikan aspirasinya. Meski aku yakin banyak diantara
mereka yang tidak tahu pasti aspirasi itu seperti apa, siapa yang mereka pilih
untuk menyampaikan aspirasinya. Mungkin hanya asal coblos, mungkin hanya main
tebak-tebakan, atau hanya ikut-ikutan, tapi itulah kenyataannya, kawan. Itulah arti
pesta demokrasi yang dipahami kebanyakan orang, sangat sederhana. Datang ke
TPS, masuk ke bilik suara, mencoblos salah satu pilihan, lalu pulang sambil
menunggu keajaiban datang.
Seperti layaknya pesta, menjelang dan setelah hari pemilihan
semua orang mempunyai cerita yang sama, semua orang dengan pikiran yang sama. Sampai-sampai
para pakar di bidang ini menganugerahi gelar tahun ini sebagai tahun politik.
Meskipun belum ada penelitian secara resmi berapa persen penduduk Indonesia
bicara politik pada tahun ini, namun dalam keseharian memang sangat terasa.
Hampir semua orang yang kita jumpai di warung, di pos ronda, di meja makan, di
kedai kopi, di kantor-kantor, di sekolahan, di pangkalan ojek, di tempat
pangkas rambut pinggir jalan, mereka gemar sekali berbicara masalah yang satu
ini. Tiba-tiba semua orang menjadi melek politik, menjadi pengamat politik
dadakan dengan teori-teori konspirasinya.
Gegap gempita pemilihan calon anggota legislatif memang
sudah usai, dianggap usai lebih tepatnya, karena hingga aku membuat tulisan ini
perhitungan secara resmi oleh KPU belumlah selesai. Namun, masyarakat sudah
mengetahui lebih awal siapa partai pemenang pemilu legislatif kali ini.
Menakjubkan memang. Bahkan bagiku yang pada tanggal 9 April itu didaulat
menjadi panitia KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara) merasa sakit hati
dibuatnya. Bagaimana tidak, di saat kami masih melakukan penghitungan suara,
stasiun-stasiun televisi nasional, melalui beberapa proyek ‘quick count’ sudah
bisa menayangkan lebih dahulu siapa pemenangnya. Seakan kerja kami hingga lewat
tengah malam itu tiada artinya. Aku masih ingat 10 tahun yang lalu, saat quick
count belumlah terlalu populer, penghitungan suara di TPS-TPS menjadi hiburan
gratis yang sangat menyenangkan. Warga berduyun-duyun menonton, bertepuk
tangan, berteriak, bersorak sorai, membuat kami kian bersemangat dalam
melakukan kerja penghitungan suara. Namun kali ini teramat sepi, hanya satu dua
orang yang rela mangkal di TPS hingga penghitungan suara usai. Semua orang
sudah mempunyai sarana hiburan sendiri di rumah-rumah melalui acara yang
menempati rating tertinggi, perhitungan suara melalui quick count. Perlu kau
ingat kawan, hasil perhitungan super cepat melalui quick count yang sudah
beberapa kali dilakukan untuk pemilu maupun pilkada selalu hampir persis dengan
hasil perolehan akhir dengan cara manual. Luar biasa.
Perhitungan suara dengan cara yang super cepat sangat
membantu partai-partai politik untuk segera menyusun strategi yang dianggap
tepat untuk melaju ke langkah selanjutnya, pencalonan presiden. Membangun
koalisi, menggalang dukungan, menebar
pesona, saling serang lebih awal, saling umbar komentar pedas di media untuk
menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Janji-janji musiman mulai ramai
berseliweran seperti kendaraan di perempatan tanpa rambu lalu lintas. Berusaha
saling mendahului, saling serobot, tak pedulikan orang lain, bahkan segala cara
dihalalkan.
Salam