Senin, 21 April 2014

Quick Count


 9 April. Ah, tentu kau sudah tahu arti tanggal itu, kawan. Dan pasti kau juga sudah bisa menebak apa yang akan aku tuliskan. Ya, belum lama berlalu hingar bingar pesta demokrasi 5 tahunan di republik kita tersayang. Pesta rakyat, lebih tepatnya. Inilah saat-saat dimana semua warga negara berhak secara langsung menyampaikan aspirasinya. Meski aku yakin banyak diantara mereka yang tidak tahu pasti aspirasi itu seperti apa, siapa yang mereka pilih untuk menyampaikan aspirasinya. Mungkin hanya asal coblos, mungkin hanya main tebak-tebakan, atau hanya ikut-ikutan, tapi itulah kenyataannya, kawan. Itulah arti pesta demokrasi yang dipahami kebanyakan orang, sangat sederhana. Datang ke TPS, masuk ke bilik suara, mencoblos salah satu pilihan, lalu pulang sambil menunggu keajaiban datang.

Seperti layaknya pesta, menjelang dan setelah hari pemilihan semua orang mempunyai cerita yang sama, semua orang dengan pikiran yang sama. Sampai-sampai para pakar di bidang ini menganugerahi gelar tahun ini sebagai tahun politik. Meskipun belum ada penelitian secara resmi berapa persen penduduk Indonesia bicara politik pada tahun ini, namun dalam keseharian memang sangat terasa. Hampir semua orang yang kita jumpai di warung, di pos ronda, di meja makan, di kedai kopi, di kantor-kantor, di sekolahan, di pangkalan ojek, di tempat pangkas rambut pinggir jalan, mereka gemar sekali berbicara masalah yang satu ini. Tiba-tiba semua orang menjadi melek politik, menjadi pengamat politik dadakan dengan teori-teori konspirasinya.

Gegap gempita pemilihan calon anggota legislatif memang sudah usai, dianggap usai lebih tepatnya, karena hingga aku membuat tulisan ini perhitungan secara resmi oleh KPU belumlah selesai. Namun, masyarakat sudah mengetahui lebih awal siapa partai pemenang pemilu legislatif kali ini. Menakjubkan memang. Bahkan bagiku yang pada tanggal 9 April itu didaulat menjadi panitia KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara) merasa sakit hati dibuatnya. Bagaimana tidak, di saat kami masih melakukan penghitungan suara, stasiun-stasiun televisi nasional, melalui beberapa proyek ‘quick count’ sudah bisa menayangkan lebih dahulu siapa pemenangnya. Seakan kerja kami hingga lewat tengah malam itu tiada artinya. Aku masih ingat 10 tahun yang lalu, saat quick count belumlah terlalu populer, penghitungan suara di TPS-TPS menjadi hiburan gratis yang sangat menyenangkan. Warga berduyun-duyun menonton, bertepuk tangan, berteriak, bersorak sorai, membuat kami kian bersemangat dalam melakukan kerja penghitungan suara. Namun kali ini teramat sepi, hanya satu dua orang yang rela mangkal di TPS hingga penghitungan suara usai. Semua orang sudah mempunyai sarana hiburan sendiri di rumah-rumah melalui acara yang menempati rating tertinggi, perhitungan suara melalui quick count. Perlu kau ingat kawan, hasil perhitungan super cepat melalui quick count yang sudah beberapa kali dilakukan untuk pemilu maupun pilkada selalu hampir persis dengan hasil perolehan akhir dengan cara manual. Luar biasa.

Perhitungan suara dengan cara yang super cepat sangat membantu partai-partai politik untuk segera menyusun strategi yang dianggap tepat untuk melaju ke langkah selanjutnya, pencalonan presiden. Membangun koalisi,  menggalang dukungan, menebar pesona, saling serang lebih awal, saling umbar komentar pedas di media untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Janji-janji musiman mulai ramai berseliweran seperti kendaraan di perempatan tanpa rambu lalu lintas. Berusaha saling mendahului, saling serobot, tak pedulikan orang lain, bahkan segala cara dihalalkan.

Tepat jam 00.15 perhitungan suara di TPS kami baru benar-benar selesai hingga lembar terakhir. Kotak-kotak suara kembali dikunci dan dikirim ke panitia pemilihan kecamatan. Letih, namun aku juga bangga bisa menjadi bagian dari proses pesta demokrasi di negeri ini. Aku sungguh tak sabar menantikan seperti apa rupa sang jabang bayi yang dilahirkan dari rahim pemilu kali ini, kawan. Apakah dia tikus pengerat, apakah ia si kucing pemalu, apakah ia anjing penjilat , ataukah ia manusia setengah dewa. Entahlah, aku tak tahu kawan, kita tunggu saja. 

Salam