Senin, 05 November 2012

Untuk Sang Pemimpi (4)

Seorang perempuan renta berdiri di pinggir jalan seberang pasar tradisional
Berkebaya usang, berbalut kerudung  yang juga usang
Tangannya gemetar, mulutnya tak henti menyapa setiap orang yang lewat di depannya
Dia menghampiriku dan berkata “Nak beri sedikit uang untuk beli pil, badan saya mengigil”
Dalam hati aku bertanya, kemana suaminya, kemana anak-anaknya?
Di mana sanak familinya? Di mana negara dan para pemimpinnya?
Aku yakin masih berpuluh ribu banyaknya perempuan renta seperti nya
Yang harus bertahan hidup seorang diri, berharap belas kasih orang lain
Ditinggalkan suami dan keluarganya
Ditinggalkan Negara dan janji-janji busuk pemimpinnya

Aku teringat kau kawan, ingat segala yang telah kau lakukan untuk mereka
Ternyata pekerjaan kita masih banyak, jalan kita masih panjang…

Aku bertemu seorang perempuan setengah baya dengan mata sembab dan wajah kebiruan
Dia bercerita kepadaku, “saya baru saja digebuki suami, gara-gara kopi yang saya hidangkan terlalu pahit rasanya”
Dalam hati aku bertanya, kemana larinya nurani?
Benarkah suami berhak memukul istri sekehendak hati?
Benarkah perempuan harus selalu tunduk sujud kepada suami selain Tuhan?
Aku yakin masih berpuluh ribu banyaknya perempuan teraniaya seperti nya
Rela menahan segala rasa demi mempertahankan dinding rumah tangganya
Diabaikan, dicaci maki dan ditelantarkan, bahkan deritannya dianggap wajar oleh sebagian orang

Aku teringat kau kawan, ingat segala yang telah kau perjuangkan untuk mereka
Ternyata pekerjaan kita masih banyak, jalan kita masih panjang…

Seorang perempuan menahan tumpahan airmata saat mengetahui suaminya beristri lagi
Dia menjawab tanyaku, “semua perempuan pasti merasakan hal yang sama kalau diperlakukan seperti itu”
Dalam hati aku bertanya, benarkah laki-laki berhak beristri sekehendak hati?
Benarkah Tuhan membedakan derajat umatnya karena hanya karena berbeda kelamin?
Aku yakin masih berpuluh ribu banyaknya perempuan yang senasib sama seperti nya
Aku masih kerap mendengar narasi-narasi berdalih agama yang memantapkan niat laki-laki berpoligami
Bahwa itu direstui Tuhan, bahwa surga lah balasan bagi istri yang rela berbagi

Aku teringat kau kawan, ingat segala yang telah kau upayakan untuk mendobrak pemahaman ini
Ternyata pekerjaan kita masih banyak, jalan kita masih panjang…

Jakarta, 8 September 2012

Minggu, 04 November 2012

Si Teteh Pulang Kampung


Cerita ini terjadi di rumahku, kawan. “Teteh” dalam bahasa Sunda adalah panggilan untuk perempuan yang lebih tua (kakak). Kata Teteh juga lazim digunakan pasangan keluarga di Jakarta dan sekitarnya untuk panggilan kepada pekerja rumah tangga (PRT) yang berasal dari Jawa Barat. Ketika kita membicarakan si ‘teteh’ di rumah, pasti orang akan mengerti bahwa kita sedang membicarakan PRT.

Heti nama panggilannya. Heti Koes Endang nama lengkapnya, persis seperti nama seorang penyanyi lawas yang serba bisa dan sangat kondang pada masanya. Heti adalah ‘teteh’ di rumahku. Dan seperti kebanyakan orang, kami pun memanggilnya dengan sebutan Teteh. Heti berasal dari suatu daerah di Pandeglang, Banten. Umurnya baru menginjak 14 tahun, usia untuk anak yang sepantasnya berada di bangku sekolah menengah pertama. Sudah lebih kurang 6 bulan dia tinggal di rumahku. Sejak pertama kali datang ke rumah, aku langsung ‘jatuh hati’ kepadanya. Jatuh hati di sini jangan diartikan macam-macam, kawan. Parasnya cukup cantik, tapi bukan itu yang kumaksud. Aku terenyuh melihat sendiri anak sekecil itu harus bekerja meninggalkan kampung halamannya hanya untuk membantu meringankan beban orang tua dan menopang kehidupan keluarganya. Dalam hati aku bertekad, ingin membantu mengubah cerita hidupnya, menyekolahkannya, mendidiknya, mengarahkan cara pandang hidupnya, dan dia bisa mengubah alur cerita kehidupan keluarganya.

Heti berasal dari sebuah keluarga yang sangat sederhana, boleh dikatakan miskin. Menurut cerita sih, aku juga belum tahu secara langsung bagaimana kehidupannya di desa sana. Heti mempunyai 2 orang adik yang berasal dari 2 orang bapak yang berbeda. Artinya, Ibu Heti sudah 3 kali menikah dan mempunyai 3 orang anak dari hasil perkawinannya tersebut. Masing-masing 1 orang anak dari hasil perkawinannya. Heti adalah buah hasil perkawinannya dengan suami yang pertama. Konon, ketika usia Heti menginjak 2 tahun 6 bulan, ketika kehidupan keluarganya berkecukupan, ketika keduanya dilimpahi kebahagiaan, bapak Heti tergoda oleh perempuan lain. Mungkin kata tergoda di sini tidaklah tepat, sangat bias dan mengesankan bahwa perempuan itu penggoda, yang jelas dia berpaling kepada perempuan lain dan pergi meninggalkan Istri dan anak perempuannya yang masih balita. Perceraianpun terjadi, meski hanya melalui penghulu kampung dan selembar surat cerai dari penghulu. Tidak dilakukan secara resmi di KUA, entah kenapa alasannya, akupun tidak menanyakannya lebih lanjut.

Tinggallah ibu Heti (aku nggak tahu namanya, jadi aku panggil ibu Heti saja) yang harus membesarkan sendiri anaknya. Harta gono-gini buah kerja mereka berdua selama berumah tangga memang dibagi dua, rumah dan sepeda motor dijual dan hasilnya dibagi dua. Namun jika harta tetap sudah menjadi harta lancar (ini istilah akuntansi, kawan) amatlah gampang menguap dan mengalir. Uang hasil penjualan harta gono-ginipun habis untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Berharap dapat penghidupan yang lebih baik, ibu Heti pun memutuskan untuk menikah yang kedua kali dan dikaruniai seorang anak perempuan. Begitulah kawan, dari banyak cerita yang aku dengar langsung dari para perempuan yang memutuskan untuk menikah lagi dan lagi adalah demi perubahan kehidupan yang lebih baik, dari segi ekonomi pastinya. Namun malang, pengalaman pahit serupa kerap terulang, begitupun dengan ibu Heti. Setelah melahirkan anak yang kedua dari suami keduanya, kisah pernikahan pertama pun terulang kembali. Suami pergi dan meninggalkan beban derita, bertambah pula beban menghidupi satu orang anak lagi.

Pun tak membuat ibu Heti menjadi kapok dan jera. Harapan dan impian mempunyai keluarga utuh dan sejahtera tetap menjadi dambaannya. Selang beberapa tahun, diapun kembali menikah dengan seorang lelaki tukang kayu di desanya dan dikaruniai anak ketiganya. Pernikahan yang terakhir ini masih bertahan hingga saat ini. Penghasilan suaminya saat ini, ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan demi menambah pendapatan keluarga, ibu Heti pun berjualan di sebuah sekolah dasar di kampungnya. Dan Heti sebagai anak tertua, berusaha ikut andil dalam menambal celah-celah tembok kehidupan rumah tanggaanya dengan merantau ke ‘Jakarta’ dan bekerja di rumahku. Bagi orang kampung, Jakarta adalah tempat yang amat terkenal, mereka akan bilang tinggal di jakarta meskipun sebetulnya tempat tinggalnya di Bekasi, Depok, Tambun ataupun tempat lain di sekitar Jakarta.

Singkat cerita, enam bulan berselang sejak Heti tinggal di rumahku, anak-anak nampak akrab dengannya, diapun tampaknya tidak berkendala dan betah tinggal di rumah kami, namun hari ini aku mendapat mendapat kabar buruk. Kabar buruk buat kami tentunya. Konon Bapak Heti datang dari ‘pelariannya’ menemui ibu Heti untuk menanyakan keadaan anaknya. Tapi bukan itu kabar bukuknya, kawan. Bukan hanya menanyakan, namun lelaki itu menyalahkan ibu Heti karena anaknya tidak disekolahkan. Tunggu kawan, tentu kau bertanya-tanya, darimana aku dapatkan cerita ini. Begini ceritanya.

Tanpa kami duga, ibu Heti datang sendirian mengunjungi rumah kami. Tubuhnya kurus ramping, sorotnya menyiratkan kerja keras dan kegigihan, wajahnya nampak lebih tua dari usianya. Dan inilah kabar buruknya, dia bermaksud membawa Heti pulang untuk dipertemukan dengan bapak kandungnya. Dan yang lebih buruk lagi, kawan, lelaki itu meminta Heti untuk tinggal bersamanya. “Biar aku sekolahkan”, ujar Ibu Heti menirukan kata-kata lelaki itu. Konon laki-laki itu kini kembali ke kampungnya setelah sekian tahun merantau ke pulau seberang, dan membawa serta istri serta anak-anaknya dari perkawinan keduanya.

“Enak betul dia, selama ini ibu berjuang seorang diri mengurus dan membesarkan Heti, dan setelah anak ini besar, dia mau merebutnya dari ibu? Apakah tidak terpikir oleh ibu, betapa beban derita yang selama ini ibu rasakan karena ditinggalkan? Apakah pernah dia membawanya ke mantri atau puskesmas ketika anaknya gigil karena demam? Apakah pernah dia membujuk anaknya ketika dia tak henti menangis? Pernahkan dia menanyakan keadaan anaknya selama ini? Mungkin terlintas pun tidak, ibu. Kasihan sekali anak ini, selama ini dia tidak mengenal siapa dan bagaimana bapaknya, sekarang dia harus tinggal serumah dengan orang yang tidak di kenal meski itu bapaknya? Bahkan dia harus tinggal serumah juga dengan ibu yang lain, ibu yang telah merebut kebahagiaan ibu kandungnya?” (kata merebut, sekali lagi kuranglah tepat, itu juga bias, kawan. Seolah perempuan juga suka merebut suami orang, aku tidak bermaksud seperti itu.) ” Beribu pertanyaan beruntun yang aku dan istriku lontarkan. (Lebay juga sih, nggak mungkinlah ribuan pertanyaan hehe.. namanya juga kiasan kawan)

“Saya tidak tahu harus menjawab apa kepada bapaknya, setiap saya jawab dia langsung menimpali dan menyalahkan, mengapa saya tidak cerita kalau anaknya tidak disekolahkan. Dan saya baru sadar sekarang ini, setelah mendengar masukan dari ibu dan bapak, bahwa iya selama ini saya yang merawat dan membesarkannya, sekarang dia tinggal enaknya mau membawanya pergi”, ujarnya lirih dengan kepala tertunduk. Bayangkan kawan, bahkan untuk menyadari bahwa suaminya telah melakukan tindakan kekerasan dan bertindak tidak adilpun kepadanya baru terucap setelah mendengar ocehan dari kami. Berarti selama ini? Dia menganggap semua itu hal yang wajar dan lumrah, lelaki boleh seenaknya memperlakukan istri, boleh seenaknya melepas tanggungjawab, tidak masalah meski istri harus memikul beban menghidupi anak seorang diri. Begitu tidak berdayanya dia, betapa tidak punya kuasanya dia atas segala keputusan untuk dirinya sendiri.

“Ibu, Heti itu sudah kami anggap anak sendiri di sini, kami tidak menganggap Heti itu seorang pembantu. Kalau memang alasannya mau disekolahkan, kamipun berniat demikian kalau memang dia betah tinggal bersama kami. Bahkan kami berangan-angan, Heti meninggalkan rumah kami bukan karena bekerja sebagai pembantu di rumah orang lain, atau karena menikah dini, tapi dia meninggalkan rumah kami karena mendapat penghidupan yang lebih layak, tentu dengan bekal yang akan kami persiapkan untuknya. Tapi semua keputusan ada di tangan ibu, siapalah kami ini. Kalau laki-laki itu memang dia mau bertanggungjawab dan menyekolahkan anaknya, itu memang bagus dan mungkin keluar dari niat tulusnya, tapi janganlah ibu relakan Heti tinggal bersama bapaknya. Kalau mau menyekolahkan, dia tinggal memberikan biayanya kepada ibu dan ibu bisa sekolahkan Heti.” Itu nasehat terakhir yang bisa aku ucapkan kepadanya.

“Saya jemput Heti, untuk dipertemukan dengan bapaknya, dan akan saya lihat responnya seperti apa, kalau memang Heti tidak mau, dia pasti akan kembali ke rumah bapak dan ibu” Itu juga alasan terakhirnya kepada kami.

Dan merekapun berlalu meninggalkan kami, kawan. Entah dia kembali, entahpun tidak.

Cerita ini hanya salah satu dari ribuan cerita tentang perjuangan perempuan, tentang ketidakadilan, tentang kegigihan, tentang cinta, tentang impian dan harapan, tentang kenyataan hidup. Semoga menginspirasi.
Salam

Sepenggal Kisah dari Bone


Matanya berkaca-kaca ketika kutanya perasaannya saat mengetahui suaminya beristri lagi bahkan mempunyai anak dari pernikahan keduanya itu. “Kalau ditanya perasaan, sangat sedih mas, semua perempuan pasti merasakan hal yang sama jika diperlakukan seperti itu”. Ujarnya lirih, perlahan air matanya meleleh membasahi kedua pipinya. Kedua tangannya ditangkupkan menutupi wajahnya, tak sanggup ia menahan isak.  Sejenak akupun terdiam, memberikannya kesempatan untuk  mengeluarkan segala emosi dan gejolak jiwanya.

Adalah Husnawati  nama perempuan itu ,  panggil saja Husna. Husna tinggal di suatu desa yang konon adalah kampung halaman dari mantan wakil presiden republik ini. Husna tinggal di sebuah rumah panggung dari kayu khas pesisir dengan tiang-tiang penyangga di bawahnya. Meski usianya baru 34 tahun namun ia telah memiliki 4 orang anak dari hasil perkawinannya, 2 orang anak perempuan dan 2 laki-laki. Anak perempuannya yang tertua saat ini sudah duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah di desanya. Husna berparas cantik, berperawakan sedang dan berkulit kuning langsat, namun di balik wajahnya yang cantik tersirat duka dan penderitaan yang cukup dalam. Ah, jangan kau berprasangka buruk dulu kawan, aku tidak mengada-ada. Nanti akan aku ceritakan mengapa aku bisa bilang seperti itu.

Dalam membesarkan dan merawat ke empat anaknya, Husna harus bekerja keras seorang diri. Ah, mengapa dia yang harus menanggung beban seorang diri? “Sejak  7 tahun lalu, suami saya pergi merantau ke Kalimantan, namun ia tak pernah pulang. Jangankan memberikan nafkah lahir untuk istri dan anak-anaknya, berkabarpun ia tak pernah. Yang lebih menyakitkan hati, baru tiga tahun belakangan ini saya tahu bahwa dia sudah menikah lagi dan mempunyai anak. Itupun orang lain yang memberitahukannya kepada saya”. Lagi-lagi Husna tak mampu membendung air matanya, matanya menerawang entah ke mana, sorot mata yang rapuh. Aku turut hanyut menyelami perasaannya. Ada torehan luka di hatinya, yang entah kapan bisa sembuh sedia kala. Akupun  sedikit terheran, mengapa perempuan secantik Husna harus ditelantarkan dan ditinggalkan begitu saja. Ah, kalimat seperti itu tak layak sebetulnya aku tulis kawan, memangnya kalau Husna itu tidak cantik lantas layak untuk ditelantarkan? Tentu bukan begitu maksudku kawan, aku hanya ingin menjelaskan bahwa dalam membina sebuah hubungan, tidak ada yang bisa mejamin kalau wajah cantik dan tampan itu bisa saling setia, wajah cantik bagi seorang perempuan tidak menjadi jaminan akan diperlakukan baik-baik oleh suaminya, bukan jaminan dia tidak akan ditinggal dan ditelantarkan.

 “Tidak pernah, sekalipun tidak pernah dia memberi uang untuk anak-anak. Saya yang berusaha sendiri membesarkan dan menyekolahkan mereka”, ujarnya menjawab rasa penasaranku. Untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keempat anaknya, Husna bekerja dengan menjadi buruh mengikat bibit agar-agar (rumput laut) serta membuat ‘songkoto’ setengah jadi.  Sedikit aku jelaskan kawan, selain hasil laut seperti ikan dan sebangsanya, masyarakat di wilayah tersebut juga banyak yang menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut. Bibit rumput laut diikat dan digantungkan dalam seutas tali plastik yang panjangnya mencapai 20 meter. Setelah bibit rumput laut diikat dan digantungkan dalam tali plastik tersebut, selanjutnya ditanam di laut dekat pantai. Setelah kurang lebih 40 hari, barulah rumput laut tersebut bisa dipanen. Namun tidak semua orang bisa bertanam rumput laut, bagi Husna dan teman-temannya hanyalah buruh mengikat rumput laut, bukan petani rumput laut. Dan satu lagi produksi hasil kerajinan tangan masyarakat setempat adalah Songkoto. Songkoto adalah peci khas Bone yang terbuat dari serat daun lontar. Pekerjaan membuat satu buah songkoto setengah jadi bisa diselsaikan dalam satu hari, namun itupun kalau tidak mengerjakan pekerjaan yang lain.  Satu buah songkoto setengah jadi dihargai 20 ribu rupiah oleh pengumpul.

“Jika saya pergi mengikat agar-agar, dalam sehari bisa menyelesaikan paling banyak 4 tali, itupun kalau banyak bibit yang harus diikat. Satu tali panjangnya 20 meter dan saya mendapat upah 3.000 rupiah per tali. Artiya jika seharian dia bekerja, maka upah yang didapat hanya sebesar 12 ribu rupiah. Namun pekerjaan ini pun tidak rutin, sangat bergantung kepada pengusaha rumput laut dan ketersediaan serta cuaca tentunya. “Kalau tidak pergi  ikat agar-agar, saya membuat songkoto Bone di rumah”. Beruntung Husna masih memiliki kedua orang tuanya yang tinggal serumah dengannya. Ia masih bisa ikut membantu ayahnya mengurus sawah garapan, meski tanah itu milik orang lain.

Tujuh tahun lalu, kalau aku hitung-hitung kepergian terakhir suaminya adalah saat Husna mengandung anak keempatnya. Artinya anak terakhir ini tidak pernah mengenal wajah bapaknya. “Terakhir kali dia pulang 3 tahun yang lalu, tapi dia pulang ke rumah orang tuanya, bukan ke sini. Dia menyuruh anak saya yang paling kecil datang ke rumahnya”.  Setelah mengetahui bahwa suaminya telah beristri lagi, kerja Husna hanya menangis dan menangis. Dia merasa hidupnya sudah berakhir, kesetiaannya sebagai seorang istri yang menanti kepulangan suaminya, sia-sia belaka. Namun sebagai seorang istri yang ‘baik’, dia mengaku masih tetap mengharapkan kehadiran suaminya, berkumpul kembali dengan anak-anaknya.

“Tapi itu dulu, sekarang saya sudah tidak memikirkannya lagi, yang penting saya bisa hidup sendiri, saya bisa membesarkan dan menyekolahkan anak-anak sendiri, dan saya tidak boleh menggantungkan hidup kepada siapapun”. Mendadak, wajah dan sorot matanya yang tadi kulihat rapuh berubah, ada kilatan amarah, ada gumpalan ketegaran yang kini turut kurasa. “Kenapa sekarang kak Husna bisa berubah?”, tanyaku penasaran. “Sejak saya bergabung dengan ibu-ibu lain di kelompok PEKKA, saya jadi mempunyai tempat untuk berbagi, tempat bercerita. Dari situ saya timbul kesadaran, bahwa selama ini telah terjadi ketidakadilan dalam rumah tangga saya, saya baru sadar bahwa suami saya telah melakukan kekerasan terhadap saya. Saya baru mengerti bahwa tidak demikian seharusnya perlakukan seorang suami terhadap istri, seorang laki-laki terhadap perempuan. Sekarang saya ingin segera mengurus surat perceraian saya, karena sampai saat ini saya masih dalam status menggantung”.

Mendengar ceritanya, aku malu kawan. Sebagai  seorang laki-laki, aku malu. Dari sekian banyak cerita yang kudengar dan kusaksikan sendiri oleh inderaku, pelaku kekerasan itu hampir semuanya adalah kaumku, laki-laki. Dan perlakuan seperti itu sudah dianggap wajar, kawan. Bahwa memang seharusnya demikian. "Seandainya aku suruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya." Itulah kata-kata yang sering keluar dari para mubaligh dalam ceramah-ceramahnya menyangkut hubungan antara suami-istri. Dan itu dijadikan pegangan bagi kebanyakan orang, kawan.

Kembali ke Husna. Husna sekarang bukan lagi Husna yang dulu, yang hanya bisa meratapi kepergian suaminya, yang hanya bisa pasrah terhadap keadaan, yang masih setia menunggu suami ‘pulang”. Kini Husna telah bangkit, Husna yang punya semangat, Husna yang tegar berdiri diatas kakinya sendiri, dan yang paling kukagumi dia bertekad mengajak perempuan lain yang memiliki nasib serupa agar mempunyai kesadaran yang sama dengan dirinya.

 Ah.. dahsyat sekali pemberdayaan. Semoga menginspirasi.

Cerita Papan Catur dan Butiran Gandum

Dahulu kala, di jaman kerajaan. Ketika pertama kali ditemukan permainan catur. Menurut cerita penemu permainan catur ini adalah seorang guru (sekarang guru matematika) bernama Sisah Ibnu Dahir. Permainan ini sangat disukai oleh masyarakat dan menyebar ke berbagai pelosok, tak terkecuali sang Raja. Raja sangat terkesan dan sangat menyukai permainan ini. Karena begitu senangnya dengan permainan catur ini, raja bermaksud memanggil Sisah ke Istana. Raja ingin memberikan hadiah kepada Sisah.

Singkat cerita, sampailah Sisah di Istana dan langsung berhadapan dengan Raja. Sisah bertanya kepada Raja, “Ampun paduka, ada apakah gerangan paduka memanggil hamba?”

“Aku sangat terkesan dengan permainan catur yang engkau ciptakan. sebagai rasa terimakasihku sebagai raja, aku ingin sekali memberikan hadiah kepadamu wahai Sisah. Kamu boleh meminta apa saja kepadaku, niscaya akan aku kabulkan. Kamu mau minta rumah mewah, perhiasan, uang, berapapun kau minta aku akan penuhi”. Raja menimpali pertanyaan Sisah dengan penuh kegembiraan.

Sejenak Sisah terdiam, dan berpikir hadiah apa yang ingin dia dapatkan dari sang raja. “Saya minta waktu satu malam, paduka. Saya perlu waktu untuk memikirkan hadiah yang pantas untuk hamba”.

“Ha..ha..ha.. baik Sisah, silakan pilih hadiah yang paling kamu suka. Besok aku tunggu kedatanganmu”. Sahut raja sambil tertawa terbahak-bahak.

Sisah pulang dengan sejuta pikiran. Sampai di rumah dia terus memikirkan hadiah yang akan dia minta dari sang raja. Besoknya dia kembali ke Istana menghadap raja.

“Bagaimana Sisah, kamu sudah memikirkan hadiahnya, aku sudah tidak sabar”. Tanya raja kepada Sisah begitu mereka berhadapan.

“Sebelumnya saya minta maaf paduka, jika hadiah yang akan hamba minta ini terlalu besar nilainya dan tidak sebanding dengan apa yang hamba kerjakan”, jawab Sisah dengan penuh kehati-hatian.

“Apa gerangan hadiah yang kamu minta, Sisah? Aku pasti akan mengabulkannya”, jawab sang raja dengan penuh keyakinan.

Sejenak Sisah terdiam, lalu dia bekata, “Hamba hanya minta butiran gandum untuk mengisi ke 64 kotak pada papan catur saya, paduka”.

“Apa? Gandum katamu? Ha..ha…ha… Kamu tidak salah sebut? Kamu tidak tertarik dengan perhiasan, uang, atau kedudukan di Istana?” Sang raja terkekeh merasa lucu mendengar permintaan Sisah yang sangat sederhana.

“Satu butir gandum untuk kotak catur yang pertama, dua butir untuk kotak yang kedua……. “
“Satu butir katamu? Ha..ha..ha.. apa kamu tidak salah?” belum selesai Sisah bicara raja sudah memotongnya.

“Empat butir untuk kotak yang ketiga, delapan butir untuk kotak yang keempat, enam belas butir…..”

“Cukup..cukup! Permintaanmu sangat sederhana dan merendahkanku”. Raja sedikit gusar dengan permintaan Sisah yang dianggapnya meremehkan.

“Jumlah gandum untuk setiap kotak papan catur adalah 2 kali dari jumlah pada kotak sebelumnya dan hamba minta supaya gandum-gandum itu bisa diantarkan ke rumah hamba besok pagi”. Sisah menambahkan permintaannya itu.

“Baik, besok akan ada pegawai istana yang mengantarkan permintaanmu itu”. Jawab sang raja menjanjikan.

Sisah pulang dengan hati yang riang namun penuh misteri. Sementara raja langsung memberi perintah kepada menterinya untuk memenuhi permintaan Sisah. “Besok pagi gandum-gandum itu harus diantar ke rumah Sisah”.

“Baik paduka, hamba akan memerintahkan juru hitung istana untuk menghitung berapa jumlah gandum yang harus hamba kirim”. Jawab sang menteri, lalu meninggalkan sang raja dan meminta juru hitung istana untuk menghitung jumlah gandum tersebut.

Malam tiba, tapi juru hitung istana belum selesai menghitung jumlah gandum tersebut. Setiap kali raja menanyakan, jawabannya selalu sama “belum selesai paduka, masih dihitung”. Sang raja sangat gusar, “Aku sudah berjanji untuk mengantarkan gandum itu besok pagi, bagaimana bisa? Menghitung jumlahnya saja belum selesai?”

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dengan tergopoh-gopoh dan terlihat lemas karena semalaman tidak tidur, juru hitung istana menghampiri sang Raja. “Ampun paduka, kami baru saja selesai menghitung berapa jumlah gandum yang dibutuhkan untuk mengisi ke 64 kotak papan catur milik Sisah. Hamba kira, permintaan Sisah tidak akan bisa Paduka penuhi”.

Mendengar perkataan juru hitung istana, Raja naik pitam dan berkata, “Tidak mungkin, masa seorang raja tidak bisa memenuhi permintaan yang sangat sederhana ini? Jangankan gandum, perhiasan, uang berlian, bisa aku berikan”.

“Ampun paduka, semalam hamba mengerahkan seluruh juru hitung istana untuk membantu hamba menghitungnya bahkan kami tidak tidur semalaman”. Kata juru hitung istana sambil menyodorkan secarik kertas berisi angka yang menunjukkan jumlah butiran gandum yang diminta Sisah.

“Hamba yakin, kita tidak dapat memenuhi permintaan Sisah. Berapa ton gandum yang harus ada, andai seluruh penduduk negeri diminta untuk menanam gandum, hamba yakin tidak akan bisa memenuhinya. Berapa lama waktu yang harus digunakan untuk menghitungnya? Andai kita meminta seluruh penduduk negeri ini untuk membantu menghitung butiran-butiran gandum itu, kita tidak akan sanggup. Jumlah gandum yang diminta oleh Sisah adalah 18.446.744.073.709.600.000 butir tuanku”.

Raja terdiam, dan kemudian berkata, “aku belum mengerti, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghitung, berapa karung gandum yang dibutuhkan?”

“Andai satu butir gandum bisa dihitung dalam satu detik, maka dibutuhkan waktu 5.124.095.576.030.430 jam atau 213.503.982.334.601 hari sama dengan 7.116.799.411.153 bulan atau 593.066.617.596 tahun. Andai kita meminta seribu orang untuk menghitungnya, dibutuhkan waktu 593.066.618 tahun, bahkan kalau kita meminta sejuta orang masih dibutuhkan waktu 593.067 tahun. Hamba kira kita tidak akan sanggup bahkan kalau seluruh penduduk negeri ini diminta untuk membantu menghitungnya. Tak ada badan yang sanggup menanggung hayat selama itu. Berapa karung gandum yang kita butuhkan? Andai dalam satu karung gandum itu berisi 10 juta butir maka dibutuhkan 18.446.744.073.710 karung, entah berapa kapal yang harus disediakan. Andai seluruh penduduk negeri ini diminta untuk menanam gandum, kita tidak bisa menyediakannya. Entah berapa generasi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan Sisah ini, tuanku”.

Raja hanya terdiam mendengar perkataan juru hitung istana itu, dia tidak mengira bahwa permintaan Sisah itu tidaklah sederhana seperti yang ia duga. Raja sadar bahwa selama ini dia terlalu sombong dengan kekayaan dan menganggap remeh orang lain. Dia mendatangi Sisah dan minta maaf.

Dari cerita ini kita bisa ambil hikmah bahwa kita nggak boleh sombong, menganggap remeh suatu masalah dan menganggap enteng orang yang kita anggap jauh berada di bawah kita. Moga bermanfaat.

GALAU

Aku menyanggupi ajakan kedua anakku untuk makan di sebuah restoran fast food. Aku hanya ingin menyempatkan diri bersama mereka, sehari dalam setiap minggu di sela-sela kesibukanku. Ada rasa bahagia ketika aku menyaksikan kedua anakku Linda dan Raja menyantap lahap makan siangnya.

“Ibu nggak makan?” tanya Linda anak tertuaku yang kini genap berusia 12 tahun. “Nggak nak, ibu minum saja, habisin makannya ya? Kembali kutatap wajah mereka satu per satu. Ada rasa sedih dan luka yang kembali terkuak, teringat ayah mereka yang sekarang sudah menikah lagi dengan perempuan muda. Mereka kini menetap di Bandung.

Anganku mulai menerawang, teringat kembali ketika aku bersama Akbar. Aku tepaksa bercerai dengan Akbar, mantan suamiku. Aku sudah tidak tahan lagi hidup bersamanya. Kami mengawali bahtera rumah tangga dengan bahagia. Namun setelah 10 tahun pernikahan kami, mulai muncul gesekan-gesekan, makin terasa perbedaan diantara kami. Alasannya klasik, Akbar ingin aku lebih banyak waktu di rumah, mengurusi suami dan anak-anak, aku dimintanya berhenti bekerja. Dengan tegas kutolak permintaannya. Bukan aku tidak mau jadi ibu rumah tangga yang baik karena bagiku tugas menjaga anak-anak dan urusan rumah tangga lainnya bukanlah melulu pekerjaan istri melainkan tanggungjawab bersama, toh kami juga punya seorang pembantu yang cukup telaten mengurusi kedua anakku. Aku berprinsip bahwa pernikahan itu bukanlah untuk saling memiliki, saling berbagi ruang dan waktu bersama. Masing-masing harus punya space untuk menjadi dirinya sendiri.

Makin lama, gesekan itu semakin kuat, jurang perbedaan prinsip hidup kami semakin melebar. Pertengkaran demi pertengkaran tak terelakkan. Akbar makin jarang pulang, bahkan dia mulai main kasar. Aku mendengar kabar dari temanku bahwa dia sering jalan dengan seorang perempuan yang usianya jauh lebih muda.

“Ceraikan aku!” Dengan terisak dan berlinang air mata, kuberanikan diri mengeluarkan kata itu. “Tidak Mirna, bagaimana dengan anak-anak, mereka butuh perhatian kita” kilah Akbar. “Perhatian katamu, jadi selama ini kamu mencurahkan perhatianmu untuk anak-anak sementara kamu jarang pulang, bahkan kamu sekarang sudah punya perempuan lain? Aku sudah tidak tahan lagi menahan emosi yang makin menggelora di dada. “Itu karena kesalahanmu, Mirna! Sudah kubilang kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, lupa sama anak, lupa sama suami”.

Akhirnya pertengkaran itu tak terelakkan lagi, aku juga menyadari kalau selama ini aku sibuk dengan pekerjaanku. Tuntutan profesiku sebagai seorang jurnalis membuatku sering meninggalkan rumah, meninggalkan kota ini. Tapi apakah karena aku seorang istri, seorang perempuan harus mengalah dan meninggalkan duniaku yang sudah lama aku tekuni? Lantas aku jadi ibu rumah tangga yang baik, mengurusi anak dan suami yang menurut mereka itulah kewajiban sebagai seorang istri?

Akhirnya kami resmi bercerai dan kedua anak kami memilih tinggal bersamaku. Masa-masa awal perceraian kami memang terasa berat bagiku. Sebenarnya aku masih sangat mencintai Akbar, laki-laki yang sudah 10 tahun hidup bersamaku. Suka, duka, sedih dan bahagia kami lakoni bersama.

Seketika lamunanku buyar, aku tersentak kaget ketika pandanganku menangkap sesosok laki-laki yang duduk di sudut ruangan restoran itu. Dia bersama seorang perempuan dan seorang anak perempuan yang berusia kira-kira 4 tahun. Sejenak kuperhatikan keluarga itu, nampak harmonis, contoh keluarga ideal bagiku. Dengan telaten, laki-laki itu menyuapi anak perempuannya, sambil tertawa bersenda gurau.

Aku segera bangkit dari tempat dudukku, mengajak anak-anakku pulang. Mereka sedikit kecewa melihatku terburu-buru dan membatalkan rencana kami untuk nonton bersama di Teater IMAX. Di perjalanan pulang, aku memacu mobilku dengan kencang dan berusaha menenangkan kedua anakku, kepada mereka kujanjikan acara nonton bersama minggu depan.

Jam 23.30. Aku masih belum bisa memejamkan mataku. Raja dan Linda sudah lama tertidur pulas disampingku. Aku sengaja tidur di kamar anak-anakku malam ini. Ingin aku melewatkan malam ini bersama mereka. Anganku menerawang, teringat kembali sosok laki-laki di restoran fast food tadi. Dia adalah Aldi, teman sekantorku yang sudah hampir setahun kukenal. Dia orang yang baik, penuh pengertian terhadapku bahkan dia memanjaku. Sejak kenal dengan dia, aku seakan kembali ke masa-masa remaja dulu. Diam-diam aku memang jatuh cinta kepadanya. Aku memang butuh teman, butuh kehangatan seorang laki-laki.

Aku tahu dia sudah punya istri dan anak, tapi aku tidak bisa melepas rasa ketertarikanku padanya. Aku teringat hari-hari indahku bersamanya. Masih terasa kecupan hangat di keningku setiap kami berpisah. Makin sering aku mengajaknya makan malam bersama. Ya, aku seperti menemukan kembali hidupku.

Tapi setelah kejadian tadi siang, aku jadi berpikir. Terbayang kehangatan keluarganya, keharmonisan sebuah keluarga. Ah, ternyata laki-laki sama saja. Di depan istri dan anaknya dia bak malaikat tetapi di belakangnya. Aku tahu bagaimana Aldi memperlakukanku. Aku membayangkan, alasan apa yang ia kemukakan kepada istrinya ketika ia telat pulang ke rumah karena menemaniku makan malam? Apa yang dia bilang ketika aku minta dia menemaniku di hari libur?

Aku jadi bimbang, haruskah kulanjutkan hubunganku, aku bisa saja merebut Aldi dari perempuan itu. Meski usiaku jauh lebih tua, tapi aku yakin dia juga tertarik kepadaku. Tetapi aku teringat anak dan istrinya bagaimana nasib mereka? Apakah aku harus membuat mereka merasakan penderitaan yang selama ini aku rasakan?

Sayup-sayup kudengar nyanyian anak-anak muda di ujung gang.
Aku tidak ingin menang, aku hanya ingin benar.
Biarlah aku kalah asal tak memperkosa.
Biar saja aku tak menang, asalkan tak menginjak nuraninya.
Aku tidak ingin menang, aku hanya ingin benar.

Ya, aku hanya ingin kebenaran. Lebih baik kujauhi Aldi daripada aku membuat orang lain menderita. Aku jadi sadar sepenuhnya.

PENYESALAN

Udara Jakarta terasa sangat panas hari ini, seakan mentari semakin rindu dan ingin berdekatan dengan bumi. Mendung baru saja berlalu, awan hitam yang semula bergulung-gulung penuh nafsu tidak jadi bersetubuh dengan hujan, angin telah berhasil mengusir syahwat yang sudah membara, langit kembali terang menyebabkan udara terasa sangat panas. Lalu lalang kendaraan tetap padat bagai semut yang beriringan mengusung makanan seakan tak peduli akan keadaan, di sana sini lalulintas macet. Mobil-mobil melaju dengan segenap keangkuhan, klakson-klakson berteriak-teriak memaki dan mengusir semua yang dirasa menghalangi jalan. Bis-bis kota yang lebih pantas disebut kaleng rombeng melaju kencang berkejar-kejaran berebut penumpang.

Keringat mengucur membasahi T-shirt yang kupakai. Aku berdiri bergelantungan di dalam bis kota itu. Bau peluh dan dengus nafas para penumpang dengan beragam latar belakang bercampur baur menimbulkan sebuah aroma kehidupan yang pengap, suram dan sesak. Bis kota yang kutumpangi terasa miring ke kiri karena begitu berjejalnya penumpang. Meski begitu setiap ada halte selalu berhenti untuk mengangkut siapa saja yang rela bergelantungan bahkan sampai berdiri di pintu dengan sebelah kaki terjuntai. Berkali-kali aku berusaha menepis tangan-tangan liar yang jahil memanfaatkan situasi. Terasa gesekan-gesekan kasar yang di sengaja di bagian belakangku dari seorang pria setengah baya, mungkin menyalurkan fantasinya. Aku muak dengan ini semua, aku ingin berteriak memaki tapi tak kuasa. Aku takut seisi bis kota geger oleh makianku, aku merasa tidak berdaya. Para pedagang asongan tetap semangat menawarkan dagangannya seakan tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Seorang ibu tua berdiri dengan berpegangan erat pada sandaran kursi, tak ada yang peduli. Sementara di sampingnya duduk seorang lelaki muda yang asyik memainkan jempol diatas keypad telepon selularnya.

Bus berhenti di halte depan sebuah universitas negeri. Setelah melewati perjuangan menerobos kepadatan, senggolan-senggolan yang tak terelakkan, akhirnya aku berhasil turun dari bus neraka itu. Kuminum air mineral dalam botol yang sengaja kubawa buat bekal. Air yang mengalir membasahi tenggorokan terasa sejuk, bagai segumpal bola salju yang menggelinding di tengah sahara. Lega rasanya, serasa aku telah berhasil mencapai puncak gunung setelah berhari-hari mendaki. Setelah melewati gang sempit akhirnya aku sampai juga di tempat yang kutuju, sederet rumah petak, rumah kos para mahasiswa. Suasana siang itu sepi, mungkin mereka semua berada di kampus. Aku menghampiri rumah paling ujung, nomor 5. Terlihat lengang, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kuketuk pintunya beberapa kali, aku berharap Anton tertidur di dalam. Sunyi. Tidak ada jawaban. Kuangkat tangan kiriku merogoh kunci di atas pintu, tempat dimana biasanya Anton menaruh kuncinya. Dapat. Kubuka pintu dan aku langsung masuk ke rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, hanya ada satu kamar dan kamar mandi di bagian belakang.

Suasana kamar itu masih seperti dulu, seperti dua tahun yang lalu. Buku-buku berserakan, jeans belel, kemeja berwarna hitam, warna baju favorit Anton, nampak tergantung di kapstok. Kasur lipat yang telah usang, bantal tanpa sarung tergeletak, belum dirapikan. Pakaian yang belum sempat disetrika nampak tertumpuk begitu saja di sudut kamar. Televisi 14 inchi yang tombol-tombolnya sudah terlepas, mungkin juga sudah lama mati. Di samping televisi, terlihat tumpukan kanvas berisi lukisan. Buah tangan Anton. Kulihat di sebelah kiri ada sebuah lukisan yang belum jadi, lukisan wajah seorang gadis. Ah… ternyata gadis yang dilukisnya itu adalah diriku. Lukisan wajahku. Meski kepala ini terasa penat dan tubuhku terasa lelah, aku berniat membereskan kamar itu, buku-buku kutata rapi di rak yang terbuat dari rotan yang penyangganya sudah hampir patah. Pakaian yang tertumpuk kulipat dan kumasukan di lemari plastik, kasur usang dan bantal tanpa sarung kurapikan. Sementara tanganku sibuk merapikan semua harta benda miliknya, pikiranku menerawang jauh, mengenang masa-masa indah di kamar ini bersama Anton.

Ketika itu aku adalah gadis SMA, sedang Anton sudah kuliah di jurusan seni rupa, semester 3. Penampilan dan gaya hidupnya yang sederhana, apa adanya, membuatku tertarik padanya. Kami saling jatuh hati. Kami berpacaran. Aku sering main di kamar kostnya. Kami sering menghabiskan waktu di kamar ini, sekedar ngobrol, nonton TV atau menemani Anton melukis. Waktu terus berlalu, dan waktu pulalah yang memisahkan kami. Setamat SMA aku diterima kuliah di Jogjakarta. Di tahun pertama kami masih sering berkomunikasi, lewat telpon, berkirim e-mail, chatting atau SMS. Tapi di tahun berikutnya kami jarang berkomunikasi. Kesibukanku kuliah menyebabkan aku jarang ke warnet untuk chat atau kirim e-mail.

Aku kini tengah hamil tiga bulan. Aku telah menghianati Anton. Mulanya aku berkenalan dengan seorang laki-laki teman kuliahku di Jogja. Dia orang yang sangat supel dan pandai mengambil hati setiap perempuan yang ada di dekatnya. Dengan segala cara dia berusaha mendapatkan cintaku. Dengan perjuangan tanpa lelahnya, akhirnya aku jatuh dalam pelukannnya. Aku ini perempuan lemah yang tak tahan dengan rayuan, kata-kata indah dari mulut manis laki-laki. Anganku melambung jauh ke angkasa, membawa serta bunga-bunga cinta yang bermekaran. Terus dan terus melambung, membumbung, membawaku ke alam sorga dunia, mandi dalam genangan syahwat.

Akibat pergaulan kami yang melampaui batas, terjadilah ‘kecelakaan’ itu hingga aku kini mengandung benihnya. Untungnya ia mau bertanggungjawab dan orang tuaku yang mengetahui ini segera menikahkan kami. Kuliah tidak kulanjutkan dan aku pulang ke Jakarta, membawa serta suamiku.

Tak terasa, mungkin karena terlalu lelah aku tertidur diatas kasur lipatnya. Terlelap beberapa saat dan terbangun ketika aku merasa ada kecupan hangat mendarat di keningku. Perlahan kubuka mataku, kulihat Anton telah duduk disampingku. Penampilannya masih seperti dulu, sederhana, apa adanya. Matanya masih seperti dulu, penuh damai, tatapannya mampu menyejukan kalbu siapa saja yang menatapnya. Setiap kali aku mentatap matanya, aku merasakan hawa sejuk yang menjalar dari ubun-ubun hingga sekujur tubuhku. Aku tak mampu berkata-kata, aku hanya mampu menatap wajahnya, menikmati keteduhannya. Keteduhan yang dulu acap kunikmati, keteduhan yang membawaku mengelana membawa gelora cinta. Kini keteduhan itu tidak pantas lagi kumiliki.

“Kamu tertidur lelap sekali”, ujarnya membuyarkan lamunanku. “Kebetulan aku beli nasi bungkus di warung Padang langganan kita, cukup untuk berdua. Kamu kelihatan capek sekali. Lebih baik kita makan dulu”.
Ah… andai dia tahu apa yang terjadi pada diriku, mungkin dia tidak sebaik ini lagi. Mungkin dia akan mengusirku, atau menghardikku dengan kasar. “Terimakasih...”, kata itu yang hanya mampu terucap dari bibirku. Ingin aku memeluknya erat, melepas kerinduan yang menggulung-gulung di dada ini, tapi aku tak kuasa melakukannya. Lidah ini terasa kelu, wajahku juga mungkin menyiratkan kekakuan, tapi sepertinya Anton tidak melihatku seperti itu, dia tetap biasa, seperti Anton yang dulu.

Aku bangkit perlahan, mencuci mukaku di kamar mandi. Lalu kami menyantap nasi bungkus bersama. Anton bercerita banyak hal, tentang kuliahnya, tentang lukisan-lukisannya, tentang kenangan-kenangan indah kami di kamar ini. Tawanya yang renyah, senyumnya yang mengembang, cerita-cerita lucu, lelucon-lelucon segar kembali mampir di telingaku membuat hatiku semakin galau. Kabut penyesalan, awan hitam keputus asaan semakin menebal memenuhi rongga-rongga jiwa. Aku ingin segera menyudahi lelucon-leluconnya dan mengabarkan berita buruk itu. Anton seperti tak mengetahui gejolak jiwa yang makin membuncah ini, sikapnya tak berubah, masih seperti Anton yang dulu kukenal. Lagi-lagi aku tak kuasa, tenggorokanku terasa terganjal batu sebesar bola kasti, lidah ini terasa berbingkai, aku tak bisa menguasai keadaan. Akirnya kuurungkan niat menceritakan kejadian sebenarnya. Aku takut Anton akan kecewa, teluka. Aku takut luka itu akan menebarkan bau busuk kebencian terhadapku, tehadap penghianatan yang kulakukan padanya. Aku belum siap mengambil resiko itu.

Kuhela napas panjang, sudah hampir Maghrib. Aku harus pulang. Aku pamit ke Anton tanpa berhasil membeberkan semua yang terjadi. Aku beranjak dari duduk, sebelum berpisah Anton masih sempat mengecup keningku, kebiasaan yang dulu selalu dilakukannya setiap kami berpisah. Aku berjalan menuju pintu kamar kostnya. Tiba-tiba Anton memanggilku. “Fitri, hati-hati di jalan, kirimkan salamku untuk suamimu”. Aku terhenyak kaget, darahku seperti berhenti mengalir, jantung terasa berhenti berdetak. Gemuruh asa yang sedari tadi hanya bergulung-gulung, mendadak menyembur. Segera kuhentikan langkahku dan memalingkan tubuhku padanya. Aku hanya bisa berdiri mematung, menatap Anton dengan gurat penyesalan. Kuberanikan diri untuk membuka semua tabir rahasia dengan segudang alasan yang kusimpan.
“Tak usah kau jelaskan, aku sudah tahu semuanya. Aku harap ini pertemuan kita terakhir, kau harus jadi istri yang baik. Jangan kau sakiti hatinya, cukup aku yang terluka. Aku turut bahagia, kalau kamu bahagia. Pulanglah Fitri. Jaga kandunganmu baik-baik”.

Aku melangkah pulang membawa serta rasa sesal yang tiada tara. Tapi apalah artinya penyesalan yang tak berguna. Maafkan aku, Anton.

Untuk Istriku Tercinta

Masih ingat saat pertama bertemu
Baru semalam aku pulang dari rumah kost mu setelah kencan pertama itu
Matahari baru sekali terbenam rasanya
Tapi lihat!!
Kerut di sudut mataku mengatakan bahwa kita sudah lama hidup bersama
Selembar dua lembar uban di kepalamu bercerita bahwa kita tak lagi muda belia

Beratus mil jalan kita lalui
Berjuta langkah kita ayun bersama
Beribu kayuh kita tempuh demi lajunya biduk yang kita bangun
Sebentar merapat, kemudian melaju kembali
Terkadang oleng karena hentakan ombak
Terkadang setengah tenggelam karena terlalu banyak beban yang kita bawa serta
Di semilir angin kau dekapku erat
Bercermin kita di riak gelombang

Ganas ombak kita hadang bersama
Aku di haluan, kau awasi di buritan
Lalu kita nyenyak dan terlelap berselimut mimpi
Tentang matahari, bulan dan bintang
Tentang laut, ombak dan camar liar

Aku masih seperti dulu sayangku
Masih mencintaimu seperti saat kita pertama bertatap mata
Tak luntur karena air sabun yang sering meracuni tangan kita
Tak juga dibagi bekeping-keping meski empat anak kita yang juga butuh cinta
Adakah cinta ini akan tetap terjaga
Akankah selamanya kita berbagi ruang dan waktu bersama
Hanya kita yang bisa menjawabnya…

Jakarta, 3 Maret 2009

SIHIR

Aku cemburu!!!
Murka pada setiap kata hampa milikku
Tersihir oleh rima manis milikmu

Siapakah kau ?
Yang menggelitik inderaku?
Yang membuatku menggelinjang?
Yang menyelinap ke palung hatiku terdalam?

Ingin kuraih rongga asamu,
Tertatih kugapai namun tak jua sampai
Tersuruk aku….
Menunggumu di relung rindu

HENING

Sering aku merindukan keheningan ini
Hening yang menarikku ke dalam bait-bait bahasa yang ranum
Hening yang menarikku menuangkan kalimat-kalimat sahaja tak bertuan
Hening yang memanggilku untuk tersadar dari kelelahan jejak-jejak alam bawah sadar
Hening yang membuyarkan kepenatan diantara kebosanan yang kuhabiskan seharian

Dan hening menghanyutkanku
Ke dalam dunia yang berbeda
Ke dalam dunia yang membisu
Ke dalam buntu yang akhirnya membukakan jalan

Dan hening mengubahku
Ke dalam sisi hidup yang merenungi
Ke dalam sisi bahasa yang hanya ku tahu
Ke dalam sisi hatiku yang sejujurnya

Dan hening tak membuatku terlelap
Hening tak membuatku bermain dengan mimpi-mimpi bisu
Dan aku merasakan sejuta makna hening ketika aku mampu terdiam

Jakarta, 7 Mei 2009

Untuk Sang Pemimpi (2)

Mungkin waktu kan terus berlalu, membawa buih-buih pergi menjauh
Dan manusia hanyalah butir pasir berserak di hamparan zaman,
yang mengikuti kemana angin takdir berhembus.
Dan mungkin waktu melapukkan batu, membuat besi menjadi karat;
Mengubah dunia menjadi tidak seperti yang kita kira dan angankan.

Bukankah dunia itu misterius?
Selalu ada rahasia yang tersembunyi, menantang untuk ditemukan
Puzzle-puzzle kecil yang berserak menunggu untuk dikumpulkan,
Dibaca dan ditelaah maknanya
Dunia itu menarik, kompleks, rumit tapi berwarna
Selalu ada kejutan-kejutan kecil di setiap langkah

Akan kenangan saat mimpi-mimpi bersemi semerbak,
dan akan kenangan saat mimpi-mimpi terhempas berkeping di jalan berlubang
dan kau ada di sana sebagai sahabat yang memahami segala keluh kesah.
Atas kebaikan yang mungkin tidak kau sadari,
oleh sekedar canda yang membuat hidup ini lebih memiliki arti
menjauhkan rasa nyeri sedari

Seperti sebuah musim
Adakalanya badai salju membekukan hati
Adakalanya keindahan cinta bersemi
Adakalanya kemarau mengeringkan rasa

Kepakkan sepasang sayapmu
Kokohkan jejak langkahmu
Gapai segala angan yang menjelma dihati
Panjat suci doaku kan selalu menyertaimu

Hari ini kuingin ada sebuah kebahagiaan
Terpancar dari bening sorot matamu
Saat kuucapkan tulus dari palung hati yang terdalam
Selamat Ulang Tahun …

10 September 2007

Untuk Sang Pemimpi (3)

detik berganti
dengan atau tanpa kau beri makna
hari berlari
dengan atau tanpa pedulimu
tahun berlalu
dengan atau tanpa baktimu

rentang waktu
terkadang membuat lupa
bahwa kita tak lagi belia
terkurung dalam raga yang kian renta

rentang waktu
terkadang membuat sadar
bahwa kita hanya manusia
yang tak punya apa-apa
selain jasad yang tak berguna

rentang waktu
membuat kita percaya
bahwa Tuhan tidak melihat harta dan rupa
melainkan hati yang ada di dalam dada

wahai sang pemimpi….
kuharap engkau belumlah petang berwarna merah jingga
yang hanya duduk membatu menatap dentang usia

kuharap engkau tak pernah berhenti cemburu
pada tegar rembulan bersinar terang
pada bentang samudera penampung segala
pada debur ombak yang tak henti bergerak
pada semburat fajar yang tak pernah ingkar

engkau sejatinya adalah pelukis masa dan kisah
engkau sejatinya adalah pelita ruang dan waktu
bagai senyum berpendar dengan beribu kunang-kunang
hingga malam tak lagi gulita


cibitung, 10 september 2008

TETAP SAJA RINDU

Sejuta tutur kata hatiku menguasai seluruh pandangan
Hingga aku terdiam dan terpaku menatap kekosongan
Tapi kau tetap bermain-main diantara hayal pikiranku

Aku biarkan hening menghampiriku
Meski aku belum menemukan arti pencarianku
Meski aku belum menemukan arti tulisan-tulisan yang tersirat
Meski aku belum menemukan kedamaian di sana

Himpitan rindu berbaris rapi hingga akhirnya berantakan
Diantara suara-suara binatang kecil bergenderang malam
Ada bara yang membeku
Kesakitan beraduk dengan cinta
Darah berdesir berakhir dalam dekapan sunyi

Aku tetap saja rindu
Hingga kini

Pernikahan

Pernikahan bukan untuk menyatukan kau dan dia
Pernikahan bukan untuk meniadakan kau dan dia
Kau adalah kau, dia adalah dia
Kau adalah kehadiran bersamanya
Dia adalah kehadiran bersamamu
Dia tidak lebur dalam dirimu
Kau tidak lebur dalam dirinya
Kau tetap kau, dia tetap dia

Pernikahan adalah kebersamaan
Pengembaraan dua insan
Sambil berbagi suka dan duka sepanjang jalan
Sambil bersyukur dan merangkai cerita
Tentang kau dan dia sebagai kita

Antara Ada dan Tiada

Ada delaga yang jernihnya tak pernah bisa kusapa
Ada cerita yang rima nya tak pernah bisa kubaca
Ada gemerlap yang kilaunya tak pernah bisa kuharap

Dalam kaku pikirku terpaku
Dalam hening batinku bergeming
Dalam sepi hatiku menepi

Adalah sesak yang tersisa di rongga jiwa
Adalah perih yang tercabik di setiap torehan luka
Adalah ragu yang tersudut di sela himpitan rindu
Adalah ada diantara tiada

Cico - Bogor, 26 Juli 2009

Pertanda Apakah?

Mendung tak juga pertanda hujan
Jingga tak juga pertanda senja
Kelam tak juga pertanda malam
Sayang, benarkah itu pertanda cinta?

28 Juli 2009

PESONAMU

Mataku tak mampu terpejam
Gemuruh asa membuatku tetap terjaga
Diantara hening dan denting tepian malam
Kupandang nanar sketsa samar di setiap sel otakku

Kuraih pena lukiskan sketsa itu
Bermula samar namun sebentar terlihat
Lirih matamu, kemilau pesonamu

Ada gelora yang kian menyeruak
Gelombang rasa membuat sesak
Kututup mata, kupalingkan wajah
Kugoreskan pena tak tentu
Ingin kuhapus bayang pesonamu

Namun
Kian kuhapus makin kerap kau hadir
Menari dan berlari dalam angan dan pikiranku
Aku tak kuasa menghapus bayangmu
Yang datang dan pergi tak tentu waktu
Di manakah aku?

Mirah, Bogor 2009

JAHANARA (untuk malaikat kecilku)

Jemari mungilmu melambai seperti kuncup daun tertiup semilir angin
Mata beningmu memancarkan harap akan keindahan kehidupan
Lantang teriakmu bagai lengking nyanyian di keheningan malam
Renyah tawamu menyingkirkan sepi dan kepenatan yang kurasakan seharian

Di sela gaduhmu ada ketulusan cinta sejati
Di sisa tangismu ada kelembutan nan hakiki
Di ujung sentuhanmu ada kekuatan yang mampu menembus lubang di hati

Malaikat kecilku,
Aku merindukan derai tawamu
Tawa yang timbul bukan karena hasrat mentertawakan
Aku merindukan tangismu
Tangis yang kau buat bukan karena merintih meratapi hidup
Aku merindukan kemilau tatapanmu
Tatapan lembut penuh cinta yang memberiku energi lebih untuk bermimpi
Tentang perjalanan, tetang hidup, tentang cinta, tentang masa depan, tentang apapun

Jahanaraku,
Aku ingin melihatmu tetap tersenyum meski kelak persoalan hidup mulai menghampirimu

NAD, 2 Agustus 2009

KEPOMPONG

bulan Ramadhan kali ini
selayaknya kita belajar pada seekor ulat
mahluk menjijikkan
hama perusak yang layak dimusnahkan
namun suatu ketika dia mampu berproses
dan mengubah diri
meninggalkan kepompong, menjadi kupu-kupu
mahluk indah yang dicintai banyak orang
mahluk yang turut membantu penyerbukan
dalam proses keberlangsungan kehidupan
namun
haruskah kita menelorkan ulat-ulat baru
seperti halnya kupu-kupu? 


Jakarta, 20 Agustus 2009

Aku Menyayangimu

Aku menyayangimu bukan karena kau mawar merah indah merekah
Aku menyayangimu karena kau adalah duri
yang melindungi mawar dari jamah penuh nafsu kuasa memiliki

Aku menyayangimu bukan karena kau air yang memberi kehidupan
Aku menyayangimu karena kau adalah debu
yang mensucikan di kala air tak jua ditemukan

Aku menyayangimu bukan karena kau pelita
yang membagi sinarnya di kala gelap gulita
Aku menyayangimu karena kau adalah gelap
yang memberi arti indahnya kehadiran cahaya

Aku menyayangimu bukan karena kau guru
yang maha tahu dan panutan beribu penghamba ilmu
Aku menyayangimu karena kau adalah murid
yang tak lelah belajar pada alam dan kehidupannya

Aku menyayangimu sebagaimana kau adanya 


Jakarta, 31 Agustus 2009

DEBU

Aku belum mampu mengusir debu
Dia melekat erat di kelopak mataku
Mengaburkan pandangan
Menutup rapat jendela hati

Dia berlari jika kukejar
Makin kukejar makin dia berlari kencang
Tapi diam membatu kala kutunggu
Makin ku diam makin membatu dia

Aku rasa itu bukan debu
Karena semua kurasa indah

Jakarta, 2 September 2009

HUJAN

Aku selalu rindu hujan
Yang gemuruhnya bagai deru ribuan pasukan berkuda
Yang gemericiknya mengalahkan segala suara alam
Yang jatuhnya tak pernah ragu
Meluncur deras bagai jarum-jarum bening, dingin dan basah
Menusuk-nusuk wajah dan jari tanganku

Aku selalu rindu hujan
Yang membuatku gigil menahan dingin
Yang mengajakku mengelana menyelami ruang batin
Yang menarikku ke dalam sisi bahasa yang hanya kutahu
Mengajakku tersadar dari jejak-jejak alam bawah sadar
Membuatku berlari meninggalkan mimpi bisu

Aku selalu rindu hujan 


Jakarta, 03 September 2009

Aku Menyebutnya Sebagai Rindu

di dada ku ada gumpalan salju
aku tak berharap kau percaya
aku menyebutnya
sebagai rindu

di punggungku ada batu
aku tak berharap kau percaya
aku meyebutnya
sebagai rindu

di mataku ada debu
aku tak berharap kau percaya
aku menyebutnya
sebagai rindu

pernah aku memetik
senyummu berdebu di dedaunan
namun hujan sirnakan debu
hingga aku menggetar menggigil
kau mungkin tak percaya
aku menyebutnya
sebagai rindu

Jakarta, 7 Oktober 2009

KELUH

aku bercerita padanya
tentang hujan yang tak lagi punya aturan
aku bercerita padanya
tentang laut yang gampang cemberut
aku bercerita padanya
tentang bumi yang tak lagi kami mengerti
aku bercerita padanya
tentang fajar pagi yang tak lagi berseri
aku bercerita padanya
tenang lembayung senja yang makin kurindu
aku bercerita padanya
tentang malam tak lagi membuat tentram
aku berkeluh padanya
tentang alam yang makin muram

aku bercerita padanya
tentang kasih sayang yang kian hilang
aku bercerita padanya
tentang keserakahan yang kian meradang
aku bercerita padanya
tentang kemunafikan yang kian membelit
aku berkeluh padanya
tentang hati yang semakin sempit

aku menunggu jawabnya

Jakarta, 8 Oktober 2009

Sekali Saja Lagi

Sekali saja lagi, beri aku maafmu sekali lagi
Karena aku tak bisa menanggung rasuk rasa

Sekali saja lagi, beri aku maafmu sekali lagi
karena aku tak bisa berharap lebih harap

Beri aku maafmu sekali lagi, sekali saja lagi
karena aku tak bisa menunggu lebih tunggu

Walau kutahu tak akan pernah ada pernah
Engkau tak pernah sempat merasa
Namun aku tetap duduk di sini
Menyampahkan waktu, seperti sungai memuja lautan

Sekali saja lagi, beri aku maafmu sekali saja lagi
Jika aku tersandung dan jatuh
Bantu aku untuk bisa teguh tegak

November 2, 2009

Apakah Bait-bait itu Kau Tulis Untukku?

Aku sering tersesat di sana
Terkejut pada kata yang tak pernah ku tahu,
padaku kau ingin mengucap apa

Aku kerap terjerembab di sana
Berjalan di bait-bait yang rumit,
yang aku tak tahu hendak mengantarku kemana.

Tapi aku betah di sana
Seakan sembunyi dari banyak bunyi,
yang bertahun-tahun memaksaku memekakkan telinga sendiri.

Aku selalu ada di sana
Ditemani mimpi yang kian sunyi
Dan aku tak tahu kapan bait-bait itu kau tulis untukku

Jakarta, 12 Nopember 2009

HUJAN (2)

Sejenak memandangi hujan
Merasakan jatuhnya
Menyelami gemuruhnya
Mengajakku bersembunyi
Dari banyak bunyi yang kian memekakkan telinga

Riuh gemuruh
Bagai jutaan jarum bening
Dilempar menyebar dari telaga langit
Yang tak pernah ada kata habis
Seperti juga manusia
Yang tak pernah kehilangan kata untuk berdusta

Aku memandangi hujan
Mengikuti gaduhnya
Meresapi gigilnya
Mengajakku menyelam ke alam bawah sadar
Yang aku tak tahu hendak membawaku ke mana

Jakarta, 13 Nopember 2009

HUJAN (3)

Ketika matahari menolak bersinar
Sementara mendung tak hendak beranjak
Sebait senyum menghampa dibidik awan
Gumpal jiwa yang kian resah tak juga tumpah

Cemas harap menunggu sang penguasa waktu
Mengurai jejak-jejak awan menjadi hujan
Dengan seribu catatan di halaman
Ada sepi menggeletak pada bulir serpih titik hujan

Mengajakmu menyusuri lagi dingin hari di telusur jalan
Dan setiup angin di karpet aspal hitam basah
Menyembunyikan titik-titik kecup antara mata
Dan selingkar rindu di atas roda

Waktu berhenti menyisakan percik-percik di bebasah jalan
Bukankah kau sudah lelah
Menyembunyikan rindu di terik matahari?

Jakarta, 1 Desember 2009

HUJAN (4)

Aku memindai sosokmu dalam derai gerimis
Aku menyulam khayal pada tirai air hujan
Menata tiap keping rautmu serupa kepingan puzzle
Dan semua menjelma sempurna
Selukis wajah yang kerap hadir bersama rintik hujan
Mengajakku sejenak melepas rindu yang menggelegak

Dari musim ke musim
Aku selalu merindukan hujan
Yang rintiknya memaksaku mengingatmu
Mengajakku merajut mimpi tak bertepi
Tapi selalu… semuanya segera berlalu
Sirna bersama desir angin di beranda
Perlahan memudar seiring hujan yang mereda

Cinta selalu memendam misteri dan rahasianya sendiri
Seperti juga hujan

Jakarta, 14 Januari 2010

GARIS TANGAN


Sebatang rokok dengan asap yang mengepul hampir tak pernah lepas dari capitan bibirnya. Ketika asap masuk dia hisap dalam-dalam, dan ketika keluar dia hembuskan kuat-kuat.  “Kalau aku tidak merokok, ngantuk nanti aku bawa mobil”, demikian alasannya ketika kami memintanya untuk menutup kaca jendela, menyalakan pendingin dan yang pasti tidak menyalakan rokok dalam mobil. Namun akhirnya ia sepakat, selama dalam perjalanan tidak akan merokok dalam mobil, dan kami berjanji memberinya kesempatan untuk berhenti di pinggir jalan jika keinginan kuatnya untuk merokok tak bisa dihentikan.

Rokok bagi sebagian besar orang di Indonesia, terutama laki-laki sudah menjadi kebutuhan pokok, bahkan melebihi kebutuhan akan makan dan minum. Menurut laporan badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2008, Indonesia adalah negara ketiga terbesar ketiga pengguna rokok di dunia. Lebih dari 60 juta penduduk Idonesia tidak berdaya karena terjajah kecanduan nikotin. Rokok juga tidak mengenal usia dan status sosial, bahkan tercatat keluarga miskin membelanjakan 12,4% pendapatannya untuk membeli rokok, mengorbankan kebutuhan pokok lainnya seperti kesehatan, gizi keluarga dan pendidikan. Dan kenyataannya, konsumsi rokok semakin meningkat setiap tahunnya. Padahal menurut ketua komnas pengendalian tembakau (Dr. Farid Anfasa Moeloek) di Republika 29/9, konsumsi rokok yang terus menerus akan merugikan negara 245 trilyun setiap tahunnya akibat biaya pengobatan penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Tapi kenapa rokok makin menjamur dengan segala merek, ukuran, rasa dan warna? Aku tak tahu kawan, ilmuku belum sampai ke sana. Nanti aku cari tahu. Sebetulnya aku juga bukan mau menulis soal rokok, tapi aku tak tahan berkomentar gara-gara si sopir tadi yang tidak bisa lepas dari rokok. Dan sekedar memberi gambaran tentang kenyataan yang memang ada.

Kembali ke cerita sang sopir tadi. Dia adalah sopir angkutan sewaan (travel) yang diminta untuk mengantarkan kami dari Makassar menuju Bone, Sulawesi Selatan dalam rangka mengunjungi ibu-ibu Pekka dan pembuatan film dokumenter tentang kehidupan mereka. “Saya Salman, ingat saja bintang film dari India”, ujarnya ketika kami menanyakan namanya. Bintang film India yang dia maksud mungkin Salman Khan. Namanya hampir sama, tapi nasibnya tak serupa, pun wajahnya jauh panggang dari api (maaf bukan aku menghina kawan, sekedar memberi tahu kalau wajahnya sama sekali tidak mirip Salman Khan). Usianya lebih kurang 40 tahun, tapi wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Apakah ini pengaruh kecanduan rokok tingkat tinggi? Aku juga tidak tahu kawan, apakah akibat dari merokok juga menyebabkan seseorang terlihat lebih tua dari usianya. Ilmuku belum sampai ke sana. Nanti aku cari tahu.  Tubuhnya kurus, berkulit hitam, bibirnya hitam karena tumpukan nikotin, rambut bagian atasnya dicat warna merah. “Rambutku sudah banyak ubannya, jadi aku kasih saja warna mih”. Apakah semua itu juga pengaruh kecanduan nikotin, sekali lagi aku tidak tahu kawan. Ilmuku belum sampai ke sana. Nanti aku cari tahu.

Singkat cerita, selama di perjalanan kami banyak bercerita hal-hal yang ringan sekedar mengalihkan Salman untuk tidak mengantuk saat menyetir. Gayanya mengendara sangat mengkhawatirkan dan membuat nyali kami diuji. Jalan yang kami lalui penuh liku, tanjakan dan turunan curam, hampir tidak ada jalan yang lurus. Namun dia tetap memacu kencang laju mobil, klakson dibunyikannya keras-keras ketika ada kendaraan lain di depannya, seakan meminta orang untuk minggir dan memberikannya jalan. Sangat arogan. Dan kami, sungguh tidak berdaya, hanya bisa pasrah dan menyerahkan segala urusan keselamatan kami kepada Tuhan dan Salman. Bukan tidak ada usaha, sudah kami ingatkan berulang kali, namun tetap saja tidak ada perubahan. “Tidak ngebut, seperti ini sudah biasa”, tandasnya saat kami berusaha memintanya untuk sedikit lebih mengendurkan laju mobilnya.

Tibalah kami pada cerita tentang keluarganya. “Anak saya tiga, yang paling besar sudah kuliah”. “Istrinya satu kan?” Tanya kawan di sampingku, seorang perempuan yang telah malang melintang di dunia penguatan dan pemberdayaan kaumnya, langsung pada jantung permasalahan. Tapi apa jawabannya kawan? “Dua mbak. Istri saya dua”. Aku sedikit terperanjat, sedikitpun aku tidak menyangka orang sepertinya bisa punya dua istri. Ah, seharusnya bukan begitu aku tulis, memangnya ada ciri-ciri secara fisik orang yang melakukan poligami? Sepertinya tidak ada. Tapi itu yang ada di benakku kawan. Yang membuat aku penasaran, enteng sekali dia menjawab itu, sangat jujur. Menandakan bahwa tidak ada yang perlu disembunyikan, hal yang sudah sewajarnya.

Sontak, kami berempat antusias berebut pertanyaan. Istri tua tahu nggak kalo abang kawin lagi? Istri muda tau nggak kalo abang sudah punya istri? Anak-anak tahu nggak bapaknya kawin lagi? Berondongan pertanyaan kontan terlontar dari mulut kami. “Istri yang tua tidak tahu mbak, kalau saya kawin lagi, anak-anak tidak tahu, tetangga-tetangga dekat juga tidak ada yang tahu. Dan jangan kasih tahu ke orang, bisa gawat nanti”. Dia berusaha menjawab satu per satu.

Kalau ingin lebih jelas bagaimana tanya jawab yang terjadi antara kami berempat dengan Salman, kurang lebih seperti inilah kawan.
Tanya : Bagaimana dengan istri muda?
Jawab: Kalau istri yang muda tahu kalau saya sudah beristri.
Tanya: Kenapa dia mau, kalau abang udah beristri?
Jawab: Saya juga tidak tahu, saya sudah bilang ke dia kalau saya sudah punya istri dan anak, tapi dia tetap mau. Saya bilang, kalau kamu mau ya sudah mih, kita kawin. Kalaupun tidak mau ya tidak apa-apa.
Tanya: Memang abang nggak kasihan sama istri-istri abang?
Jawab: Yah, bagaimana lagi, memang sudah begitu mbak. Mungkin sudah garis tangannya dia kawin sama saya yang sudah beristri. Kita kan tidak bisa berbuat apa-apa.
Tanya: Jadi sudah garis tangan pula kalau abang ini poligami?
Jawab: Iya, he..he..
Tanya: Bagaimana dengan kebutuhan hidup mereka?
Jawab: Istri saya dua-duanya sudah punya penghasilan sendiri, jadi saya hanya tanggungjawab menghidupi anak-anak saja, saya sekolahkan. Kalau istri muda tidak punya anak. Saya punya cita-cita bisa kawin lagi.
Tanya: Berapa targetnya bang?
Jawab : Mungkin 5.

Singkatnya seperti itulah tanya jawab antara kami. Ironis sekali kawan, apa yang diperbincangan sangat melukai hati kami sebetulnya. Sementara kami mengunjungi para perempuan yang notabene sebagian dari mereka adalah korban dari relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, namun di hadapan kami saat ini ada sesosok mahluk yang menjadi salah satu peyebab terpuruknya perempuan pada titik terendah dalam relasi kekuasaan tersebut. Dan satu ‘pelajaran’ yang kudapat hari itu kawan, “garis tangan”. Menurutnya sudah garis tangannya kalau perempuan itu punya suami yang kawin lagi, sudah garis tangannya kalau seorang perempuan menikah dengan laki-laki yang beristri, sudah garis tangan pula bagi laki-laki yang berpoligami. Garis tangan, katanya. Semua sudah ada yang mengatur. Enteng sekali dia menjawab itu, seakan itulah jalan hidupnya yang sudah digariskan Tuhan. Buat dia itu bukan masalah, hal yang biasa. Tapi bagaimana perasaan istri tuanya jika dia tahu suaminya menikah lagi. Aku rasa pasti terpikir olehnya, tapi lagi-lagi bagi seorang laki-laki itu hal yang biasa. “Di sini memang banyak laki-laki yang berpoligami, sudah biasa”, ujarnya seakan ingin bersembunyi dibalik kebiasaan masyarakat tentang apa yang dilakukannya. Pernahkan terpikir olehnya, bagaimana penderitaan seorang Husna, Ibu Heti (pernah aku ceritakan sebelumnya) dan beribu perempuan lain yang ditinggal kawin lagi? Ah, itu sudah biasa kawan. Semua orang menganggap itu hal wajar. Perempuan hanya tinggal pasrah dan berdoa, dan seharusnya begitu.

Aku jadi teringat seorang kiyai kondang yang sangat disukai banyak orang karena isi dakwahnya, tapi akhirnya memutuskan untuk berpoligami. Kejadian ini kontan memicu perdebatan, hujatan, pro dan kontra. Dan ketika masalah poligami menjadi bahan pembicaraan pada pengajian yang pernah aku ikuti, jawaban yang sering kudapat adalah “kalau belum sampai ilmunya, lebih baik kita tidak banyak berkomentar soal itu”. Rupanya ada ilmu tersendiri untuk bisa berpoligami. Berbedakah seorang kiyai poligami dengan sopir travel yang poligami? Menurutku sama saja kawan, tidak ada beda. Bagiku, dan mungkin bagi sang sopir itu, poligami itu tidak ubahnya seperti origami. Kalau origami adalah ilmu melipat kertas, sedang poligami hanyalah ilmu melipat lidah dan tubuh. “Al-qur’an tidak melarang poligami”, itu juga yang sering kudengar dalam pengajian-pengajian. Benarkah begitu? Lagi-lagi aku tidak tahu, kawan. Nanti aku cari tahu kalau aku sudah bisa baca Al-Qur’an.

Sang sopir tetap menginjak gas, dan sesekali klaksonnya terdengar memaki keras. Asap rokok masih mengepul dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Biasa saja.

Salam.

RENTA


Di tengah perjalanan menuju stasiun kereta di Pekalongan, mobil yang kami sewa berhenti di depan sebuah pasar, kawan seperjalananku bermaksud membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Aku duduk sendirian di dalam mobil, di bangku depan dengan kaca terbuka. Di tengah lamunan pikiranku, aku melihat sesosok perempuan renta berdiri di samping bangku plastik hijau yang teramat pudar warnanya. Tangannya menggenggam bungkusan plastik hitam entah apa isinya. Memakai kebaya usang dan berbalut kerudung yang juga usang, ia berdiri mematung, menyapa setiap orang yang lalu-lalang di depannya. Nyaris tak ada yang memperhatikannya, tak ada yang menjawab apa yang ia ucapkan, tak ada yang peduli. Wajahnya keriput, tulang pipinya menonjol, menandakan ia sudah renta di makan usia. Tangannya gemetar, mulutnya tak henti komat-kamit. Ia melirik ke arahku, aku sedikit kaget berusaha mengalihkan pandangan, namun ia terlanjur tersadar kalau aku memperhatikannya.

Perlahan ia berjalan menghampiriku dan berbicara dalam bahasa Jawa yang aku mengerti maksudnya. Kurang lebih, dia berujar seperti ini “Nak, beri saya uang sedikit saja untuk beli obat, badan saya menggigil”,  ujarnya sambil menunjuk muka dan badannya. Aku tidak berkata apa-apa, kurogoh saku celanaku dan kuberikan ia uang lembaran sepuluh ribuan. Setelah berucap terimakasih, ia lantas beranjak ke tempat semula, berdiri di samping bangku plastik hijau yang sudah teramat pudar warnanya. Lantas ia duduk, dan kembali menengadahkan tangan, menyapa setiap orang yang lewat di depannya.

Beragam pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Kemana suaminya? Ke mana anak-anaknya? Di mana sanak famili nya? Apakah dulu ia seorang ibu yang rela bertaruh nyawa untuk melahirkan anak-anaknya, membesarkannya dan menghujaninya dengan kasih sayang? Apakah dulu ia seorang istri yang setiap hari bangun teramat pagi untuk membuatkan sarapan dan minuman hangat untuk suaminya? Tapi sekarang, ke mana mereka? Adakah kewajiban negara untuk mengayomi orang-orang renta sepertinya? Ke mana perginya janji-janji busuk yang kerap bertebaran menjelang pemilihan wakil rakyat dan pemimpin negara?

Kini ia sudah renta, tak ada yang mengajaknya bicara, tak ada yang mengajaknya bercanda ria, tak ada yang peduli dengannya. Kini ia hidup di jantung kesunyian. Bahkan negarapun abai terhadap orang-orang yang senasib dengannya, tidak pernah tercatat dalam data Badan Pusat Statistik Negeri ini. Tanpa identitas.

Dengan langkah gontai ia beranjak pelan, membawa kursi hijau yang sudah teramat pudar warnanya, yang baru aku tahu kalau itu miliknya. Tangannya tetap menggenggam bungkusan plastik hitam, entah apa isinya, entah gombalan, entah makanan. Dari jauh aku melihat ia berbicara ke setiap orang yang berpapasan dengannya. Telinga batinku mendengar apa yang ia ucapkan “Nak, beri saya uang sedikit saja untuk beli obat, badan saya menggigil”.

Salam