Minggu, 04 November 2012

RENTA


Di tengah perjalanan menuju stasiun kereta di Pekalongan, mobil yang kami sewa berhenti di depan sebuah pasar, kawan seperjalananku bermaksud membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Aku duduk sendirian di dalam mobil, di bangku depan dengan kaca terbuka. Di tengah lamunan pikiranku, aku melihat sesosok perempuan renta berdiri di samping bangku plastik hijau yang teramat pudar warnanya. Tangannya menggenggam bungkusan plastik hitam entah apa isinya. Memakai kebaya usang dan berbalut kerudung yang juga usang, ia berdiri mematung, menyapa setiap orang yang lalu-lalang di depannya. Nyaris tak ada yang memperhatikannya, tak ada yang menjawab apa yang ia ucapkan, tak ada yang peduli. Wajahnya keriput, tulang pipinya menonjol, menandakan ia sudah renta di makan usia. Tangannya gemetar, mulutnya tak henti komat-kamit. Ia melirik ke arahku, aku sedikit kaget berusaha mengalihkan pandangan, namun ia terlanjur tersadar kalau aku memperhatikannya.

Perlahan ia berjalan menghampiriku dan berbicara dalam bahasa Jawa yang aku mengerti maksudnya. Kurang lebih, dia berujar seperti ini “Nak, beri saya uang sedikit saja untuk beli obat, badan saya menggigil”,  ujarnya sambil menunjuk muka dan badannya. Aku tidak berkata apa-apa, kurogoh saku celanaku dan kuberikan ia uang lembaran sepuluh ribuan. Setelah berucap terimakasih, ia lantas beranjak ke tempat semula, berdiri di samping bangku plastik hijau yang sudah teramat pudar warnanya. Lantas ia duduk, dan kembali menengadahkan tangan, menyapa setiap orang yang lewat di depannya.

Beragam pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Kemana suaminya? Ke mana anak-anaknya? Di mana sanak famili nya? Apakah dulu ia seorang ibu yang rela bertaruh nyawa untuk melahirkan anak-anaknya, membesarkannya dan menghujaninya dengan kasih sayang? Apakah dulu ia seorang istri yang setiap hari bangun teramat pagi untuk membuatkan sarapan dan minuman hangat untuk suaminya? Tapi sekarang, ke mana mereka? Adakah kewajiban negara untuk mengayomi orang-orang renta sepertinya? Ke mana perginya janji-janji busuk yang kerap bertebaran menjelang pemilihan wakil rakyat dan pemimpin negara?

Kini ia sudah renta, tak ada yang mengajaknya bicara, tak ada yang mengajaknya bercanda ria, tak ada yang peduli dengannya. Kini ia hidup di jantung kesunyian. Bahkan negarapun abai terhadap orang-orang yang senasib dengannya, tidak pernah tercatat dalam data Badan Pusat Statistik Negeri ini. Tanpa identitas.

Dengan langkah gontai ia beranjak pelan, membawa kursi hijau yang sudah teramat pudar warnanya, yang baru aku tahu kalau itu miliknya. Tangannya tetap menggenggam bungkusan plastik hitam, entah apa isinya, entah gombalan, entah makanan. Dari jauh aku melihat ia berbicara ke setiap orang yang berpapasan dengannya. Telinga batinku mendengar apa yang ia ucapkan “Nak, beri saya uang sedikit saja untuk beli obat, badan saya menggigil”.

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar