Aku menyanggupi ajakan kedua anakku untuk makan di sebuah restoran fast
food. Aku hanya ingin menyempatkan diri bersama mereka, sehari dalam
setiap minggu di sela-sela kesibukanku. Ada rasa bahagia ketika aku
menyaksikan kedua anakku Linda dan Raja menyantap lahap makan siangnya.
“Ibu
nggak makan?” tanya Linda anak tertuaku yang kini genap berusia 12
tahun. “Nggak nak, ibu minum saja, habisin makannya ya? Kembali kutatap
wajah mereka satu per satu. Ada rasa sedih dan luka yang kembali
terkuak, teringat ayah mereka yang sekarang sudah menikah lagi dengan
perempuan muda. Mereka kini menetap di Bandung.
Anganku mulai
menerawang, teringat kembali ketika aku bersama Akbar. Aku tepaksa
bercerai dengan Akbar, mantan suamiku. Aku sudah tidak tahan lagi hidup
bersamanya. Kami mengawali bahtera rumah tangga dengan bahagia. Namun
setelah 10 tahun pernikahan kami, mulai muncul gesekan-gesekan, makin
terasa perbedaan diantara kami. Alasannya klasik, Akbar ingin aku lebih
banyak waktu di rumah, mengurusi suami dan anak-anak, aku dimintanya
berhenti bekerja. Dengan tegas kutolak permintaannya. Bukan aku tidak
mau jadi ibu rumah tangga yang baik karena bagiku tugas menjaga
anak-anak dan urusan rumah tangga lainnya bukanlah melulu pekerjaan
istri melainkan tanggungjawab bersama, toh kami juga punya seorang
pembantu yang cukup telaten mengurusi kedua anakku. Aku berprinsip bahwa
pernikahan itu bukanlah untuk saling memiliki, saling berbagi ruang dan
waktu bersama. Masing-masing harus punya space untuk menjadi dirinya
sendiri.
Makin lama, gesekan itu semakin kuat, jurang perbedaan
prinsip hidup kami semakin melebar. Pertengkaran demi pertengkaran tak
terelakkan. Akbar makin jarang pulang, bahkan dia mulai main kasar. Aku
mendengar kabar dari temanku bahwa dia sering jalan dengan seorang
perempuan yang usianya jauh lebih muda.
“Ceraikan aku!” Dengan
terisak dan berlinang air mata, kuberanikan diri mengeluarkan kata itu.
“Tidak Mirna, bagaimana dengan anak-anak, mereka butuh perhatian kita”
kilah Akbar. “Perhatian katamu, jadi selama ini kamu mencurahkan
perhatianmu untuk anak-anak sementara kamu jarang pulang, bahkan kamu
sekarang sudah punya perempuan lain? Aku sudah tidak tahan lagi menahan
emosi yang makin menggelora di dada. “Itu karena kesalahanmu, Mirna!
Sudah kubilang kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, lupa sama anak,
lupa sama suami”.
Akhirnya pertengkaran itu tak terelakkan lagi,
aku juga menyadari kalau selama ini aku sibuk dengan pekerjaanku.
Tuntutan profesiku sebagai seorang jurnalis membuatku sering
meninggalkan rumah, meninggalkan kota ini. Tapi apakah karena aku
seorang istri, seorang perempuan harus mengalah dan meninggalkan duniaku
yang sudah lama aku tekuni? Lantas aku jadi ibu rumah tangga yang baik,
mengurusi anak dan suami yang menurut mereka itulah kewajiban sebagai
seorang istri?
Akhirnya kami resmi bercerai dan kedua anak kami
memilih tinggal bersamaku. Masa-masa awal perceraian kami memang terasa
berat bagiku. Sebenarnya aku masih sangat mencintai Akbar, laki-laki
yang sudah 10 tahun hidup bersamaku. Suka, duka, sedih dan bahagia kami
lakoni bersama.
Seketika lamunanku buyar, aku tersentak kaget
ketika pandanganku menangkap sesosok laki-laki yang duduk di sudut
ruangan restoran itu. Dia bersama seorang perempuan dan seorang anak
perempuan yang berusia kira-kira 4 tahun. Sejenak kuperhatikan keluarga
itu, nampak harmonis, contoh keluarga ideal bagiku. Dengan telaten,
laki-laki itu menyuapi anak perempuannya, sambil tertawa bersenda gurau.
Aku
segera bangkit dari tempat dudukku, mengajak anak-anakku pulang. Mereka
sedikit kecewa melihatku terburu-buru dan membatalkan rencana kami
untuk nonton bersama di Teater IMAX. Di perjalanan pulang, aku memacu
mobilku dengan kencang dan berusaha menenangkan kedua anakku, kepada
mereka kujanjikan acara nonton bersama minggu depan.
Jam 23.30.
Aku masih belum bisa memejamkan mataku. Raja dan Linda sudah lama
tertidur pulas disampingku. Aku sengaja tidur di kamar anak-anakku malam
ini. Ingin aku melewatkan malam ini bersama mereka. Anganku menerawang,
teringat kembali sosok laki-laki di restoran fast food tadi. Dia adalah
Aldi, teman sekantorku yang sudah hampir setahun kukenal. Dia orang
yang baik, penuh pengertian terhadapku bahkan dia memanjaku. Sejak kenal
dengan dia, aku seakan kembali ke masa-masa remaja dulu. Diam-diam aku
memang jatuh cinta kepadanya. Aku memang butuh teman, butuh kehangatan
seorang laki-laki.
Aku tahu dia sudah punya istri dan anak, tapi
aku tidak bisa melepas rasa ketertarikanku padanya. Aku teringat
hari-hari indahku bersamanya. Masih terasa kecupan hangat di keningku
setiap kami berpisah. Makin sering aku mengajaknya makan malam bersama.
Ya, aku seperti menemukan kembali hidupku.
Tapi setelah kejadian
tadi siang, aku jadi berpikir. Terbayang kehangatan keluarganya,
keharmonisan sebuah keluarga. Ah, ternyata laki-laki sama saja. Di depan
istri dan anaknya dia bak malaikat tetapi di belakangnya. Aku tahu
bagaimana Aldi memperlakukanku. Aku membayangkan, alasan apa yang ia
kemukakan kepada istrinya ketika ia telat pulang ke rumah karena
menemaniku makan malam? Apa yang dia bilang ketika aku minta dia
menemaniku di hari libur?
Aku jadi bimbang, haruskah kulanjutkan
hubunganku, aku bisa saja merebut Aldi dari perempuan itu. Meski usiaku
jauh lebih tua, tapi aku yakin dia juga tertarik kepadaku. Tetapi aku
teringat anak dan istrinya bagaimana nasib mereka? Apakah aku harus
membuat mereka merasakan penderitaan yang selama ini aku rasakan?
Sayup-sayup kudengar nyanyian anak-anak muda di ujung gang.
Aku tidak ingin menang, aku hanya ingin benar.
Biarlah aku kalah asal tak memperkosa.
Biar saja aku tak menang, asalkan tak menginjak nuraninya.
Aku tidak ingin menang, aku hanya ingin benar.
Ya, aku hanya ingin kebenaran. Lebih baik kujauhi Aldi daripada aku membuat orang lain menderita. Aku jadi sadar sepenuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar