Minggu, 04 November 2012

GALAU

Aku menyanggupi ajakan kedua anakku untuk makan di sebuah restoran fast food. Aku hanya ingin menyempatkan diri bersama mereka, sehari dalam setiap minggu di sela-sela kesibukanku. Ada rasa bahagia ketika aku menyaksikan kedua anakku Linda dan Raja menyantap lahap makan siangnya.

“Ibu nggak makan?” tanya Linda anak tertuaku yang kini genap berusia 12 tahun. “Nggak nak, ibu minum saja, habisin makannya ya? Kembali kutatap wajah mereka satu per satu. Ada rasa sedih dan luka yang kembali terkuak, teringat ayah mereka yang sekarang sudah menikah lagi dengan perempuan muda. Mereka kini menetap di Bandung.

Anganku mulai menerawang, teringat kembali ketika aku bersama Akbar. Aku tepaksa bercerai dengan Akbar, mantan suamiku. Aku sudah tidak tahan lagi hidup bersamanya. Kami mengawali bahtera rumah tangga dengan bahagia. Namun setelah 10 tahun pernikahan kami, mulai muncul gesekan-gesekan, makin terasa perbedaan diantara kami. Alasannya klasik, Akbar ingin aku lebih banyak waktu di rumah, mengurusi suami dan anak-anak, aku dimintanya berhenti bekerja. Dengan tegas kutolak permintaannya. Bukan aku tidak mau jadi ibu rumah tangga yang baik karena bagiku tugas menjaga anak-anak dan urusan rumah tangga lainnya bukanlah melulu pekerjaan istri melainkan tanggungjawab bersama, toh kami juga punya seorang pembantu yang cukup telaten mengurusi kedua anakku. Aku berprinsip bahwa pernikahan itu bukanlah untuk saling memiliki, saling berbagi ruang dan waktu bersama. Masing-masing harus punya space untuk menjadi dirinya sendiri.

Makin lama, gesekan itu semakin kuat, jurang perbedaan prinsip hidup kami semakin melebar. Pertengkaran demi pertengkaran tak terelakkan. Akbar makin jarang pulang, bahkan dia mulai main kasar. Aku mendengar kabar dari temanku bahwa dia sering jalan dengan seorang perempuan yang usianya jauh lebih muda.

“Ceraikan aku!” Dengan terisak dan berlinang air mata, kuberanikan diri mengeluarkan kata itu. “Tidak Mirna, bagaimana dengan anak-anak, mereka butuh perhatian kita” kilah Akbar. “Perhatian katamu, jadi selama ini kamu mencurahkan perhatianmu untuk anak-anak sementara kamu jarang pulang, bahkan kamu sekarang sudah punya perempuan lain? Aku sudah tidak tahan lagi menahan emosi yang makin menggelora di dada. “Itu karena kesalahanmu, Mirna! Sudah kubilang kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, lupa sama anak, lupa sama suami”.

Akhirnya pertengkaran itu tak terelakkan lagi, aku juga menyadari kalau selama ini aku sibuk dengan pekerjaanku. Tuntutan profesiku sebagai seorang jurnalis membuatku sering meninggalkan rumah, meninggalkan kota ini. Tapi apakah karena aku seorang istri, seorang perempuan harus mengalah dan meninggalkan duniaku yang sudah lama aku tekuni? Lantas aku jadi ibu rumah tangga yang baik, mengurusi anak dan suami yang menurut mereka itulah kewajiban sebagai seorang istri?

Akhirnya kami resmi bercerai dan kedua anak kami memilih tinggal bersamaku. Masa-masa awal perceraian kami memang terasa berat bagiku. Sebenarnya aku masih sangat mencintai Akbar, laki-laki yang sudah 10 tahun hidup bersamaku. Suka, duka, sedih dan bahagia kami lakoni bersama.

Seketika lamunanku buyar, aku tersentak kaget ketika pandanganku menangkap sesosok laki-laki yang duduk di sudut ruangan restoran itu. Dia bersama seorang perempuan dan seorang anak perempuan yang berusia kira-kira 4 tahun. Sejenak kuperhatikan keluarga itu, nampak harmonis, contoh keluarga ideal bagiku. Dengan telaten, laki-laki itu menyuapi anak perempuannya, sambil tertawa bersenda gurau.

Aku segera bangkit dari tempat dudukku, mengajak anak-anakku pulang. Mereka sedikit kecewa melihatku terburu-buru dan membatalkan rencana kami untuk nonton bersama di Teater IMAX. Di perjalanan pulang, aku memacu mobilku dengan kencang dan berusaha menenangkan kedua anakku, kepada mereka kujanjikan acara nonton bersama minggu depan.

Jam 23.30. Aku masih belum bisa memejamkan mataku. Raja dan Linda sudah lama tertidur pulas disampingku. Aku sengaja tidur di kamar anak-anakku malam ini. Ingin aku melewatkan malam ini bersama mereka. Anganku menerawang, teringat kembali sosok laki-laki di restoran fast food tadi. Dia adalah Aldi, teman sekantorku yang sudah hampir setahun kukenal. Dia orang yang baik, penuh pengertian terhadapku bahkan dia memanjaku. Sejak kenal dengan dia, aku seakan kembali ke masa-masa remaja dulu. Diam-diam aku memang jatuh cinta kepadanya. Aku memang butuh teman, butuh kehangatan seorang laki-laki.

Aku tahu dia sudah punya istri dan anak, tapi aku tidak bisa melepas rasa ketertarikanku padanya. Aku teringat hari-hari indahku bersamanya. Masih terasa kecupan hangat di keningku setiap kami berpisah. Makin sering aku mengajaknya makan malam bersama. Ya, aku seperti menemukan kembali hidupku.

Tapi setelah kejadian tadi siang, aku jadi berpikir. Terbayang kehangatan keluarganya, keharmonisan sebuah keluarga. Ah, ternyata laki-laki sama saja. Di depan istri dan anaknya dia bak malaikat tetapi di belakangnya. Aku tahu bagaimana Aldi memperlakukanku. Aku membayangkan, alasan apa yang ia kemukakan kepada istrinya ketika ia telat pulang ke rumah karena menemaniku makan malam? Apa yang dia bilang ketika aku minta dia menemaniku di hari libur?

Aku jadi bimbang, haruskah kulanjutkan hubunganku, aku bisa saja merebut Aldi dari perempuan itu. Meski usiaku jauh lebih tua, tapi aku yakin dia juga tertarik kepadaku. Tetapi aku teringat anak dan istrinya bagaimana nasib mereka? Apakah aku harus membuat mereka merasakan penderitaan yang selama ini aku rasakan?

Sayup-sayup kudengar nyanyian anak-anak muda di ujung gang.
Aku tidak ingin menang, aku hanya ingin benar.
Biarlah aku kalah asal tak memperkosa.
Biar saja aku tak menang, asalkan tak menginjak nuraninya.
Aku tidak ingin menang, aku hanya ingin benar.

Ya, aku hanya ingin kebenaran. Lebih baik kujauhi Aldi daripada aku membuat orang lain menderita. Aku jadi sadar sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar