Minggu, 04 November 2012

Cerita Papan Catur dan Butiran Gandum

Dahulu kala, di jaman kerajaan. Ketika pertama kali ditemukan permainan catur. Menurut cerita penemu permainan catur ini adalah seorang guru (sekarang guru matematika) bernama Sisah Ibnu Dahir. Permainan ini sangat disukai oleh masyarakat dan menyebar ke berbagai pelosok, tak terkecuali sang Raja. Raja sangat terkesan dan sangat menyukai permainan ini. Karena begitu senangnya dengan permainan catur ini, raja bermaksud memanggil Sisah ke Istana. Raja ingin memberikan hadiah kepada Sisah.

Singkat cerita, sampailah Sisah di Istana dan langsung berhadapan dengan Raja. Sisah bertanya kepada Raja, “Ampun paduka, ada apakah gerangan paduka memanggil hamba?”

“Aku sangat terkesan dengan permainan catur yang engkau ciptakan. sebagai rasa terimakasihku sebagai raja, aku ingin sekali memberikan hadiah kepadamu wahai Sisah. Kamu boleh meminta apa saja kepadaku, niscaya akan aku kabulkan. Kamu mau minta rumah mewah, perhiasan, uang, berapapun kau minta aku akan penuhi”. Raja menimpali pertanyaan Sisah dengan penuh kegembiraan.

Sejenak Sisah terdiam, dan berpikir hadiah apa yang ingin dia dapatkan dari sang raja. “Saya minta waktu satu malam, paduka. Saya perlu waktu untuk memikirkan hadiah yang pantas untuk hamba”.

“Ha..ha..ha.. baik Sisah, silakan pilih hadiah yang paling kamu suka. Besok aku tunggu kedatanganmu”. Sahut raja sambil tertawa terbahak-bahak.

Sisah pulang dengan sejuta pikiran. Sampai di rumah dia terus memikirkan hadiah yang akan dia minta dari sang raja. Besoknya dia kembali ke Istana menghadap raja.

“Bagaimana Sisah, kamu sudah memikirkan hadiahnya, aku sudah tidak sabar”. Tanya raja kepada Sisah begitu mereka berhadapan.

“Sebelumnya saya minta maaf paduka, jika hadiah yang akan hamba minta ini terlalu besar nilainya dan tidak sebanding dengan apa yang hamba kerjakan”, jawab Sisah dengan penuh kehati-hatian.

“Apa gerangan hadiah yang kamu minta, Sisah? Aku pasti akan mengabulkannya”, jawab sang raja dengan penuh keyakinan.

Sejenak Sisah terdiam, lalu dia bekata, “Hamba hanya minta butiran gandum untuk mengisi ke 64 kotak pada papan catur saya, paduka”.

“Apa? Gandum katamu? Ha..ha…ha… Kamu tidak salah sebut? Kamu tidak tertarik dengan perhiasan, uang, atau kedudukan di Istana?” Sang raja terkekeh merasa lucu mendengar permintaan Sisah yang sangat sederhana.

“Satu butir gandum untuk kotak catur yang pertama, dua butir untuk kotak yang kedua……. “
“Satu butir katamu? Ha..ha..ha.. apa kamu tidak salah?” belum selesai Sisah bicara raja sudah memotongnya.

“Empat butir untuk kotak yang ketiga, delapan butir untuk kotak yang keempat, enam belas butir…..”

“Cukup..cukup! Permintaanmu sangat sederhana dan merendahkanku”. Raja sedikit gusar dengan permintaan Sisah yang dianggapnya meremehkan.

“Jumlah gandum untuk setiap kotak papan catur adalah 2 kali dari jumlah pada kotak sebelumnya dan hamba minta supaya gandum-gandum itu bisa diantarkan ke rumah hamba besok pagi”. Sisah menambahkan permintaannya itu.

“Baik, besok akan ada pegawai istana yang mengantarkan permintaanmu itu”. Jawab sang raja menjanjikan.

Sisah pulang dengan hati yang riang namun penuh misteri. Sementara raja langsung memberi perintah kepada menterinya untuk memenuhi permintaan Sisah. “Besok pagi gandum-gandum itu harus diantar ke rumah Sisah”.

“Baik paduka, hamba akan memerintahkan juru hitung istana untuk menghitung berapa jumlah gandum yang harus hamba kirim”. Jawab sang menteri, lalu meninggalkan sang raja dan meminta juru hitung istana untuk menghitung jumlah gandum tersebut.

Malam tiba, tapi juru hitung istana belum selesai menghitung jumlah gandum tersebut. Setiap kali raja menanyakan, jawabannya selalu sama “belum selesai paduka, masih dihitung”. Sang raja sangat gusar, “Aku sudah berjanji untuk mengantarkan gandum itu besok pagi, bagaimana bisa? Menghitung jumlahnya saja belum selesai?”

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dengan tergopoh-gopoh dan terlihat lemas karena semalaman tidak tidur, juru hitung istana menghampiri sang Raja. “Ampun paduka, kami baru saja selesai menghitung berapa jumlah gandum yang dibutuhkan untuk mengisi ke 64 kotak papan catur milik Sisah. Hamba kira, permintaan Sisah tidak akan bisa Paduka penuhi”.

Mendengar perkataan juru hitung istana, Raja naik pitam dan berkata, “Tidak mungkin, masa seorang raja tidak bisa memenuhi permintaan yang sangat sederhana ini? Jangankan gandum, perhiasan, uang berlian, bisa aku berikan”.

“Ampun paduka, semalam hamba mengerahkan seluruh juru hitung istana untuk membantu hamba menghitungnya bahkan kami tidak tidur semalaman”. Kata juru hitung istana sambil menyodorkan secarik kertas berisi angka yang menunjukkan jumlah butiran gandum yang diminta Sisah.

“Hamba yakin, kita tidak dapat memenuhi permintaan Sisah. Berapa ton gandum yang harus ada, andai seluruh penduduk negeri diminta untuk menanam gandum, hamba yakin tidak akan bisa memenuhinya. Berapa lama waktu yang harus digunakan untuk menghitungnya? Andai kita meminta seluruh penduduk negeri ini untuk membantu menghitung butiran-butiran gandum itu, kita tidak akan sanggup. Jumlah gandum yang diminta oleh Sisah adalah 18.446.744.073.709.600.000 butir tuanku”.

Raja terdiam, dan kemudian berkata, “aku belum mengerti, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghitung, berapa karung gandum yang dibutuhkan?”

“Andai satu butir gandum bisa dihitung dalam satu detik, maka dibutuhkan waktu 5.124.095.576.030.430 jam atau 213.503.982.334.601 hari sama dengan 7.116.799.411.153 bulan atau 593.066.617.596 tahun. Andai kita meminta seribu orang untuk menghitungnya, dibutuhkan waktu 593.066.618 tahun, bahkan kalau kita meminta sejuta orang masih dibutuhkan waktu 593.067 tahun. Hamba kira kita tidak akan sanggup bahkan kalau seluruh penduduk negeri ini diminta untuk membantu menghitungnya. Tak ada badan yang sanggup menanggung hayat selama itu. Berapa karung gandum yang kita butuhkan? Andai dalam satu karung gandum itu berisi 10 juta butir maka dibutuhkan 18.446.744.073.710 karung, entah berapa kapal yang harus disediakan. Andai seluruh penduduk negeri ini diminta untuk menanam gandum, kita tidak bisa menyediakannya. Entah berapa generasi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan Sisah ini, tuanku”.

Raja hanya terdiam mendengar perkataan juru hitung istana itu, dia tidak mengira bahwa permintaan Sisah itu tidaklah sederhana seperti yang ia duga. Raja sadar bahwa selama ini dia terlalu sombong dengan kekayaan dan menganggap remeh orang lain. Dia mendatangi Sisah dan minta maaf.

Dari cerita ini kita bisa ambil hikmah bahwa kita nggak boleh sombong, menganggap remeh suatu masalah dan menganggap enteng orang yang kita anggap jauh berada di bawah kita. Moga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar