Udara Jakarta terasa sangat panas hari ini, seakan mentari semakin rindu
dan ingin berdekatan dengan bumi. Mendung baru saja berlalu, awan hitam
yang semula bergulung-gulung penuh nafsu tidak jadi bersetubuh dengan
hujan, angin telah berhasil mengusir syahwat yang sudah membara, langit
kembali terang menyebabkan udara terasa sangat panas. Lalu lalang
kendaraan tetap padat bagai semut yang beriringan mengusung makanan
seakan tak peduli akan keadaan, di sana sini lalulintas macet.
Mobil-mobil melaju dengan segenap keangkuhan, klakson-klakson
berteriak-teriak memaki dan mengusir semua yang dirasa menghalangi
jalan. Bis-bis kota yang lebih pantas disebut kaleng rombeng melaju
kencang berkejar-kejaran berebut penumpang.
Keringat mengucur
membasahi T-shirt yang kupakai. Aku berdiri bergelantungan di dalam bis
kota itu. Bau peluh dan dengus nafas para penumpang dengan beragam latar
belakang bercampur baur menimbulkan sebuah aroma kehidupan yang pengap,
suram dan sesak. Bis kota yang kutumpangi terasa miring ke kiri karena
begitu berjejalnya penumpang. Meski begitu setiap ada halte selalu
berhenti untuk mengangkut siapa saja yang rela bergelantungan bahkan
sampai berdiri di pintu dengan sebelah kaki terjuntai. Berkali-kali aku
berusaha menepis tangan-tangan liar yang jahil memanfaatkan situasi.
Terasa gesekan-gesekan kasar yang di sengaja di bagian belakangku dari
seorang pria setengah baya, mungkin menyalurkan fantasinya. Aku muak
dengan ini semua, aku ingin berteriak memaki tapi tak kuasa. Aku takut
seisi bis kota geger oleh makianku, aku merasa tidak berdaya. Para
pedagang asongan tetap semangat menawarkan dagangannya seakan tidak
peduli dengan penderitaan orang lain. Seorang ibu tua berdiri dengan
berpegangan erat pada sandaran kursi, tak ada yang peduli. Sementara di
sampingnya duduk seorang lelaki muda yang asyik memainkan jempol diatas
keypad telepon selularnya.
Bus berhenti di halte depan sebuah
universitas negeri. Setelah melewati perjuangan menerobos kepadatan,
senggolan-senggolan yang tak terelakkan, akhirnya aku berhasil turun
dari bus neraka itu. Kuminum air mineral dalam botol yang sengaja kubawa
buat bekal. Air yang mengalir membasahi tenggorokan terasa sejuk, bagai
segumpal bola salju yang menggelinding di tengah sahara. Lega rasanya,
serasa aku telah berhasil mencapai puncak gunung setelah berhari-hari
mendaki. Setelah melewati gang sempit akhirnya aku sampai juga di tempat
yang kutuju, sederet rumah petak, rumah kos para mahasiswa. Suasana
siang itu sepi, mungkin mereka semua berada di kampus. Aku menghampiri
rumah paling ujung, nomor 5. Terlihat lengang, tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Kuketuk pintunya beberapa kali, aku berharap Anton tertidur
di dalam. Sunyi. Tidak ada jawaban. Kuangkat tangan kiriku merogoh kunci
di atas pintu, tempat dimana biasanya Anton menaruh kuncinya. Dapat.
Kubuka pintu dan aku langsung masuk ke rumahnya. Sebenarnya bukan rumah,
hanya ada satu kamar dan kamar mandi di bagian belakang.
Suasana
kamar itu masih seperti dulu, seperti dua tahun yang lalu. Buku-buku
berserakan, jeans belel, kemeja berwarna hitam, warna baju favorit
Anton, nampak tergantung di kapstok. Kasur lipat yang telah usang,
bantal tanpa sarung tergeletak, belum dirapikan. Pakaian yang belum
sempat disetrika nampak tertumpuk begitu saja di sudut kamar. Televisi
14 inchi yang tombol-tombolnya sudah terlepas, mungkin juga sudah lama
mati. Di samping televisi, terlihat tumpukan kanvas berisi lukisan. Buah
tangan Anton. Kulihat di sebelah kiri ada sebuah lukisan yang belum
jadi, lukisan wajah seorang gadis. Ah… ternyata gadis yang dilukisnya
itu adalah diriku. Lukisan wajahku. Meski kepala ini terasa penat dan
tubuhku terasa lelah, aku berniat membereskan kamar itu, buku-buku
kutata rapi di rak yang terbuat dari rotan yang penyangganya sudah
hampir patah. Pakaian yang tertumpuk kulipat dan kumasukan di lemari
plastik, kasur usang dan bantal tanpa sarung kurapikan. Sementara
tanganku sibuk merapikan semua harta benda miliknya, pikiranku
menerawang jauh, mengenang masa-masa indah di kamar ini bersama Anton.
Ketika
itu aku adalah gadis SMA, sedang Anton sudah kuliah di jurusan seni
rupa, semester 3. Penampilan dan gaya hidupnya yang sederhana, apa
adanya, membuatku tertarik padanya. Kami saling jatuh hati. Kami
berpacaran. Aku sering main di kamar kostnya. Kami sering menghabiskan
waktu di kamar ini, sekedar ngobrol, nonton TV atau menemani Anton
melukis. Waktu terus berlalu, dan waktu pulalah yang memisahkan kami.
Setamat SMA aku diterima kuliah di Jogjakarta. Di tahun pertama kami
masih sering berkomunikasi, lewat telpon, berkirim e-mail, chatting atau
SMS. Tapi di tahun berikutnya kami jarang berkomunikasi. Kesibukanku
kuliah menyebabkan aku jarang ke warnet untuk chat atau kirim e-mail.
Aku
kini tengah hamil tiga bulan. Aku telah menghianati Anton. Mulanya aku
berkenalan dengan seorang laki-laki teman kuliahku di Jogja. Dia orang
yang sangat supel dan pandai mengambil hati setiap perempuan yang ada di
dekatnya. Dengan segala cara dia berusaha mendapatkan cintaku. Dengan
perjuangan tanpa lelahnya, akhirnya aku jatuh dalam pelukannnya. Aku ini
perempuan lemah yang tak tahan dengan rayuan, kata-kata indah dari
mulut manis laki-laki. Anganku melambung jauh ke angkasa, membawa serta
bunga-bunga cinta yang bermekaran. Terus dan terus melambung,
membumbung, membawaku ke alam sorga dunia, mandi dalam genangan syahwat.
Akibat
pergaulan kami yang melampaui batas, terjadilah ‘kecelakaan’ itu hingga
aku kini mengandung benihnya. Untungnya ia mau bertanggungjawab dan
orang tuaku yang mengetahui ini segera menikahkan kami. Kuliah tidak
kulanjutkan dan aku pulang ke Jakarta, membawa serta suamiku.
Tak
terasa, mungkin karena terlalu lelah aku tertidur diatas kasur
lipatnya. Terlelap beberapa saat dan terbangun ketika aku merasa ada
kecupan hangat mendarat di keningku. Perlahan kubuka mataku, kulihat
Anton telah duduk disampingku. Penampilannya masih seperti dulu,
sederhana, apa adanya. Matanya masih seperti dulu, penuh damai,
tatapannya mampu menyejukan kalbu siapa saja yang menatapnya. Setiap
kali aku mentatap matanya, aku merasakan hawa sejuk yang menjalar dari
ubun-ubun hingga sekujur tubuhku. Aku tak mampu berkata-kata, aku hanya
mampu menatap wajahnya, menikmati keteduhannya. Keteduhan yang dulu acap
kunikmati, keteduhan yang membawaku mengelana membawa gelora cinta.
Kini keteduhan itu tidak pantas lagi kumiliki.
“Kamu tertidur
lelap sekali”, ujarnya membuyarkan lamunanku. “Kebetulan aku beli nasi
bungkus di warung Padang langganan kita, cukup untuk berdua. Kamu
kelihatan capek sekali. Lebih baik kita makan dulu”.
Ah… andai dia
tahu apa yang terjadi pada diriku, mungkin dia tidak sebaik ini lagi.
Mungkin dia akan mengusirku, atau menghardikku dengan kasar.
“Terimakasih...”, kata itu yang hanya mampu terucap dari bibirku. Ingin
aku memeluknya erat, melepas kerinduan yang menggulung-gulung di dada
ini, tapi aku tak kuasa melakukannya. Lidah ini terasa kelu, wajahku
juga mungkin menyiratkan kekakuan, tapi sepertinya Anton tidak melihatku
seperti itu, dia tetap biasa, seperti Anton yang dulu.
Aku
bangkit perlahan, mencuci mukaku di kamar mandi. Lalu kami menyantap
nasi bungkus bersama. Anton bercerita banyak hal, tentang kuliahnya,
tentang lukisan-lukisannya, tentang kenangan-kenangan indah kami di
kamar ini. Tawanya yang renyah, senyumnya yang mengembang, cerita-cerita
lucu, lelucon-lelucon segar kembali mampir di telingaku membuat hatiku
semakin galau. Kabut penyesalan, awan hitam keputus asaan semakin
menebal memenuhi rongga-rongga jiwa. Aku ingin segera menyudahi
lelucon-leluconnya dan mengabarkan berita buruk itu. Anton seperti tak
mengetahui gejolak jiwa yang makin membuncah ini, sikapnya tak berubah,
masih seperti Anton yang dulu kukenal. Lagi-lagi aku tak kuasa,
tenggorokanku terasa terganjal batu sebesar bola kasti, lidah ini terasa
berbingkai, aku tak bisa menguasai keadaan. Akirnya kuurungkan niat
menceritakan kejadian sebenarnya. Aku takut Anton akan kecewa, teluka.
Aku takut luka itu akan menebarkan bau busuk kebencian terhadapku,
tehadap penghianatan yang kulakukan padanya. Aku belum siap mengambil
resiko itu.
Kuhela napas panjang, sudah hampir Maghrib. Aku harus
pulang. Aku pamit ke Anton tanpa berhasil membeberkan semua yang
terjadi. Aku beranjak dari duduk, sebelum berpisah Anton masih sempat
mengecup keningku, kebiasaan yang dulu selalu dilakukannya setiap kami
berpisah. Aku berjalan menuju pintu kamar kostnya. Tiba-tiba Anton
memanggilku. “Fitri, hati-hati di jalan, kirimkan salamku untuk
suamimu”. Aku terhenyak kaget, darahku seperti berhenti mengalir,
jantung terasa berhenti berdetak. Gemuruh asa yang sedari tadi hanya
bergulung-gulung, mendadak menyembur. Segera kuhentikan langkahku dan
memalingkan tubuhku padanya. Aku hanya bisa berdiri mematung, menatap
Anton dengan gurat penyesalan. Kuberanikan diri untuk membuka semua
tabir rahasia dengan segudang alasan yang kusimpan.
“Tak usah kau
jelaskan, aku sudah tahu semuanya. Aku harap ini pertemuan kita
terakhir, kau harus jadi istri yang baik. Jangan kau sakiti hatinya,
cukup aku yang terluka. Aku turut bahagia, kalau kamu bahagia. Pulanglah
Fitri. Jaga kandunganmu baik-baik”.
Aku melangkah pulang membawa
serta rasa sesal yang tiada tara. Tapi apalah artinya penyesalan yang
tak berguna. Maafkan aku, Anton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar