Minggu, 04 November 2012

PENYESALAN

Udara Jakarta terasa sangat panas hari ini, seakan mentari semakin rindu dan ingin berdekatan dengan bumi. Mendung baru saja berlalu, awan hitam yang semula bergulung-gulung penuh nafsu tidak jadi bersetubuh dengan hujan, angin telah berhasil mengusir syahwat yang sudah membara, langit kembali terang menyebabkan udara terasa sangat panas. Lalu lalang kendaraan tetap padat bagai semut yang beriringan mengusung makanan seakan tak peduli akan keadaan, di sana sini lalulintas macet. Mobil-mobil melaju dengan segenap keangkuhan, klakson-klakson berteriak-teriak memaki dan mengusir semua yang dirasa menghalangi jalan. Bis-bis kota yang lebih pantas disebut kaleng rombeng melaju kencang berkejar-kejaran berebut penumpang.

Keringat mengucur membasahi T-shirt yang kupakai. Aku berdiri bergelantungan di dalam bis kota itu. Bau peluh dan dengus nafas para penumpang dengan beragam latar belakang bercampur baur menimbulkan sebuah aroma kehidupan yang pengap, suram dan sesak. Bis kota yang kutumpangi terasa miring ke kiri karena begitu berjejalnya penumpang. Meski begitu setiap ada halte selalu berhenti untuk mengangkut siapa saja yang rela bergelantungan bahkan sampai berdiri di pintu dengan sebelah kaki terjuntai. Berkali-kali aku berusaha menepis tangan-tangan liar yang jahil memanfaatkan situasi. Terasa gesekan-gesekan kasar yang di sengaja di bagian belakangku dari seorang pria setengah baya, mungkin menyalurkan fantasinya. Aku muak dengan ini semua, aku ingin berteriak memaki tapi tak kuasa. Aku takut seisi bis kota geger oleh makianku, aku merasa tidak berdaya. Para pedagang asongan tetap semangat menawarkan dagangannya seakan tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Seorang ibu tua berdiri dengan berpegangan erat pada sandaran kursi, tak ada yang peduli. Sementara di sampingnya duduk seorang lelaki muda yang asyik memainkan jempol diatas keypad telepon selularnya.

Bus berhenti di halte depan sebuah universitas negeri. Setelah melewati perjuangan menerobos kepadatan, senggolan-senggolan yang tak terelakkan, akhirnya aku berhasil turun dari bus neraka itu. Kuminum air mineral dalam botol yang sengaja kubawa buat bekal. Air yang mengalir membasahi tenggorokan terasa sejuk, bagai segumpal bola salju yang menggelinding di tengah sahara. Lega rasanya, serasa aku telah berhasil mencapai puncak gunung setelah berhari-hari mendaki. Setelah melewati gang sempit akhirnya aku sampai juga di tempat yang kutuju, sederet rumah petak, rumah kos para mahasiswa. Suasana siang itu sepi, mungkin mereka semua berada di kampus. Aku menghampiri rumah paling ujung, nomor 5. Terlihat lengang, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kuketuk pintunya beberapa kali, aku berharap Anton tertidur di dalam. Sunyi. Tidak ada jawaban. Kuangkat tangan kiriku merogoh kunci di atas pintu, tempat dimana biasanya Anton menaruh kuncinya. Dapat. Kubuka pintu dan aku langsung masuk ke rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, hanya ada satu kamar dan kamar mandi di bagian belakang.

Suasana kamar itu masih seperti dulu, seperti dua tahun yang lalu. Buku-buku berserakan, jeans belel, kemeja berwarna hitam, warna baju favorit Anton, nampak tergantung di kapstok. Kasur lipat yang telah usang, bantal tanpa sarung tergeletak, belum dirapikan. Pakaian yang belum sempat disetrika nampak tertumpuk begitu saja di sudut kamar. Televisi 14 inchi yang tombol-tombolnya sudah terlepas, mungkin juga sudah lama mati. Di samping televisi, terlihat tumpukan kanvas berisi lukisan. Buah tangan Anton. Kulihat di sebelah kiri ada sebuah lukisan yang belum jadi, lukisan wajah seorang gadis. Ah… ternyata gadis yang dilukisnya itu adalah diriku. Lukisan wajahku. Meski kepala ini terasa penat dan tubuhku terasa lelah, aku berniat membereskan kamar itu, buku-buku kutata rapi di rak yang terbuat dari rotan yang penyangganya sudah hampir patah. Pakaian yang tertumpuk kulipat dan kumasukan di lemari plastik, kasur usang dan bantal tanpa sarung kurapikan. Sementara tanganku sibuk merapikan semua harta benda miliknya, pikiranku menerawang jauh, mengenang masa-masa indah di kamar ini bersama Anton.

Ketika itu aku adalah gadis SMA, sedang Anton sudah kuliah di jurusan seni rupa, semester 3. Penampilan dan gaya hidupnya yang sederhana, apa adanya, membuatku tertarik padanya. Kami saling jatuh hati. Kami berpacaran. Aku sering main di kamar kostnya. Kami sering menghabiskan waktu di kamar ini, sekedar ngobrol, nonton TV atau menemani Anton melukis. Waktu terus berlalu, dan waktu pulalah yang memisahkan kami. Setamat SMA aku diterima kuliah di Jogjakarta. Di tahun pertama kami masih sering berkomunikasi, lewat telpon, berkirim e-mail, chatting atau SMS. Tapi di tahun berikutnya kami jarang berkomunikasi. Kesibukanku kuliah menyebabkan aku jarang ke warnet untuk chat atau kirim e-mail.

Aku kini tengah hamil tiga bulan. Aku telah menghianati Anton. Mulanya aku berkenalan dengan seorang laki-laki teman kuliahku di Jogja. Dia orang yang sangat supel dan pandai mengambil hati setiap perempuan yang ada di dekatnya. Dengan segala cara dia berusaha mendapatkan cintaku. Dengan perjuangan tanpa lelahnya, akhirnya aku jatuh dalam pelukannnya. Aku ini perempuan lemah yang tak tahan dengan rayuan, kata-kata indah dari mulut manis laki-laki. Anganku melambung jauh ke angkasa, membawa serta bunga-bunga cinta yang bermekaran. Terus dan terus melambung, membumbung, membawaku ke alam sorga dunia, mandi dalam genangan syahwat.

Akibat pergaulan kami yang melampaui batas, terjadilah ‘kecelakaan’ itu hingga aku kini mengandung benihnya. Untungnya ia mau bertanggungjawab dan orang tuaku yang mengetahui ini segera menikahkan kami. Kuliah tidak kulanjutkan dan aku pulang ke Jakarta, membawa serta suamiku.

Tak terasa, mungkin karena terlalu lelah aku tertidur diatas kasur lipatnya. Terlelap beberapa saat dan terbangun ketika aku merasa ada kecupan hangat mendarat di keningku. Perlahan kubuka mataku, kulihat Anton telah duduk disampingku. Penampilannya masih seperti dulu, sederhana, apa adanya. Matanya masih seperti dulu, penuh damai, tatapannya mampu menyejukan kalbu siapa saja yang menatapnya. Setiap kali aku mentatap matanya, aku merasakan hawa sejuk yang menjalar dari ubun-ubun hingga sekujur tubuhku. Aku tak mampu berkata-kata, aku hanya mampu menatap wajahnya, menikmati keteduhannya. Keteduhan yang dulu acap kunikmati, keteduhan yang membawaku mengelana membawa gelora cinta. Kini keteduhan itu tidak pantas lagi kumiliki.

“Kamu tertidur lelap sekali”, ujarnya membuyarkan lamunanku. “Kebetulan aku beli nasi bungkus di warung Padang langganan kita, cukup untuk berdua. Kamu kelihatan capek sekali. Lebih baik kita makan dulu”.
Ah… andai dia tahu apa yang terjadi pada diriku, mungkin dia tidak sebaik ini lagi. Mungkin dia akan mengusirku, atau menghardikku dengan kasar. “Terimakasih...”, kata itu yang hanya mampu terucap dari bibirku. Ingin aku memeluknya erat, melepas kerinduan yang menggulung-gulung di dada ini, tapi aku tak kuasa melakukannya. Lidah ini terasa kelu, wajahku juga mungkin menyiratkan kekakuan, tapi sepertinya Anton tidak melihatku seperti itu, dia tetap biasa, seperti Anton yang dulu.

Aku bangkit perlahan, mencuci mukaku di kamar mandi. Lalu kami menyantap nasi bungkus bersama. Anton bercerita banyak hal, tentang kuliahnya, tentang lukisan-lukisannya, tentang kenangan-kenangan indah kami di kamar ini. Tawanya yang renyah, senyumnya yang mengembang, cerita-cerita lucu, lelucon-lelucon segar kembali mampir di telingaku membuat hatiku semakin galau. Kabut penyesalan, awan hitam keputus asaan semakin menebal memenuhi rongga-rongga jiwa. Aku ingin segera menyudahi lelucon-leluconnya dan mengabarkan berita buruk itu. Anton seperti tak mengetahui gejolak jiwa yang makin membuncah ini, sikapnya tak berubah, masih seperti Anton yang dulu kukenal. Lagi-lagi aku tak kuasa, tenggorokanku terasa terganjal batu sebesar bola kasti, lidah ini terasa berbingkai, aku tak bisa menguasai keadaan. Akirnya kuurungkan niat menceritakan kejadian sebenarnya. Aku takut Anton akan kecewa, teluka. Aku takut luka itu akan menebarkan bau busuk kebencian terhadapku, tehadap penghianatan yang kulakukan padanya. Aku belum siap mengambil resiko itu.

Kuhela napas panjang, sudah hampir Maghrib. Aku harus pulang. Aku pamit ke Anton tanpa berhasil membeberkan semua yang terjadi. Aku beranjak dari duduk, sebelum berpisah Anton masih sempat mengecup keningku, kebiasaan yang dulu selalu dilakukannya setiap kami berpisah. Aku berjalan menuju pintu kamar kostnya. Tiba-tiba Anton memanggilku. “Fitri, hati-hati di jalan, kirimkan salamku untuk suamimu”. Aku terhenyak kaget, darahku seperti berhenti mengalir, jantung terasa berhenti berdetak. Gemuruh asa yang sedari tadi hanya bergulung-gulung, mendadak menyembur. Segera kuhentikan langkahku dan memalingkan tubuhku padanya. Aku hanya bisa berdiri mematung, menatap Anton dengan gurat penyesalan. Kuberanikan diri untuk membuka semua tabir rahasia dengan segudang alasan yang kusimpan.
“Tak usah kau jelaskan, aku sudah tahu semuanya. Aku harap ini pertemuan kita terakhir, kau harus jadi istri yang baik. Jangan kau sakiti hatinya, cukup aku yang terluka. Aku turut bahagia, kalau kamu bahagia. Pulanglah Fitri. Jaga kandunganmu baik-baik”.

Aku melangkah pulang membawa serta rasa sesal yang tiada tara. Tapi apalah artinya penyesalan yang tak berguna. Maafkan aku, Anton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar