Senin, 24 Juni 2013

Tetes Terakhir Bahan Bakar Bersubsidi


Aku merasa perjalananku pulang kerja malam ini terasa lain dari biasanya. Jalanan lebih padat dari biasanya, lebih lama dari biasanya, lebih riuh dari biasanya, lebih panik dari biasanya, lebih jenuh dari biasanya. Semua orang sepertinya terburu-buru, tergesa-gesa. Klakson-klakson bersahutan, memaki. Meski jalanan begitu padat, namun para pengendara seperti mengejar sesuatu, atau dikejar sesuatu, entah apa. Berkali-kali aku harus menginjak rem sepeda motorku lebih keras dan serba mendadak, menghidari serobotan-serobotan pengendara lainnya, mengindari senggolan dan tabrakan. Ah rasanya hidup dan mati di jalanan seperti ini sangat dekat tak berjarak.  


Sebuah bus angkutan umum berbelok secara mendadak serampangan di jalan masuk sebuah pom bensin, seorang pengendara sepeda motor yang hampir terserempet berteriak memaki, namun dibalas makian lebih garang dari kondektur bus itu. Ah, apa yang terjadi malam ini? Orang-orang seperti kesetanan, tak peduli tata krama, tak peduli warna lampu lalu lintas, merah, hijau, sama saja. Tak peduli lagi kalau dirinya manusia, bahkan sempat aku berpikir, setanpun sekarang mungkin lebih berprikemanusiaan.

Di sepanjang jalan yang kulalui, terlihat antrian panjang mengular di setiap stasiun pengisian bahan bakar, tak tak terkecuali. Ah, aku baru sadar, rupanya mereka berusaha untuk bisa menikmati tetes terakhir BBM bersubsidi. Berita tentang keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM yang akan diputuskan malam ini begitu dahsyat akibatnya. Angkutan umum, Truk, mobil pribadi, sepeda motor semua berlomba memenuhi tangki kendaraannya sebelum kenaikan diumumkan. Terlintas untuk ikut antri bersama mereka, tapi ah tangki sepeda motorku hanya menampung beberapa liter saja, tak sebanding dengan ongkos antrian yang begitu mengular, pikirku.


Akhirnya tiba waktu yang ditunggu-tunggu, tapi siapa pula yang menunggu? Waktu yang sangat penting, semua stasiun televisi nasional menghentikan segala aktivitasnya demi menyiarkan secara langsung pidato bapak menteri berambut perak itu. “Untuk meyelamatkan dan menyehatkan perekonomian” demikian sekilas alasan yang dikemukakan oleh sang menteri mengawali pengumuman kenaikan harga BBM. Dengan wajah yang terlihat enggan, atau pura-pura enggan, aku tidak dapat membedakannya kawan. 


Ah aku membayangkan beragam reaksi atas keputusan pemerintah ini. Kekhawatiran jutaan orang akan kenaikan tarif angkutan, sembako, makanan, minuman, tarif tukang cukur, tarif WC umum dan semua yang harus ditukar dengan uang. Para pengamat ekonomi kebanjiran tawaran manggung di televisi dan radio. Para penimbun bahan bakar siap memasarkan dagangannya tepat dimulai jam 00.01 WIB. Para politisi penolak kenaikan bahan bakar berkomentar di sana-sini, merasa mewakili rakyat kecil, sebagian memohon maaf, atau pura-pura mohon maaf karena tidak berhasil memperjuangkan pembatalan kenaikan harga bahan bakar. Mungkin juga tersenyum, karena terbayang dukungan rakyat pada pemilu 2014 nanti. Para pemilik kendaraan menggerutu karena otomatis biaya harian perjalanan harus ditambah. Para pemilik, para pengambil keputusan di perusahaan was-was dengan unjuk rasa kenaikan upah para buruhnya. Ah, tapi itu hanya bayanganku saja kawan, lintasan liar dari pikiranku saja, entah benar, entahpun tidak. Reaksi sebagian lain mungkin biasa saja, karena berita inipun sebetulnya sudah diketahui seluruh masyarakat cukup lama. Setiap hari kita saksikan iklan layanan masyarakat di TV tentang informasi ini. Konon, dana untuk sosialisasi kenaikan harga BBM ini menghabiskan ratusan milyar rupiah. 


“Hal ini pasti akan menimbulkan inflasi yang berdampak pada daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Pilihan yang amat sulit dan merupakan pilihan alternatif terkahir yang diambil oleh pemerintah”. Demikian pak Menteri berambut perak itu menambahkan, dengan wajah memelas,  atau pura-pura memelas, aku tidak bisa membedakannya kawan. Pilihan alternatif terakhir? Dengan kata lain, ada piliihan pertama, kedua, ketiga hingga pilihan terakhir. Pilihan alternaif pula. Mengapa pilihan alternatif terakhir yang diambil? Apa isi pilihan pertama, kedua dan seterusnya hingga akhirnya mengambil pilihan alternatif terakhir, pak menteri tidak menjelaskannya dalam pengumuman itu. Ah, pasti banyak pertimbangannya, pikirku. 


“Penyesuaian harga BBM ini pemerintah haruslah disertai dengan program percepatan dan perluasan perlindungansosial serta program khsuus lainnya agar dapat melindungi masyarakat yang terkena dampak tersebut”. Mulailah pak menteri berambut perak itu membeberkan program-program pemerintah untuk ‘menyelamatkan’ rakyat kecil yang terkena dampak kenaikan harga BBM ini. Justru penjelasan tentang program inilah yang begitu panjang lebar disampaikan. Seolah justru itulah yang sesungguhnya ingin disampaikan, kebaikan-kebaikan dan kepedulian pemerintah terhadap rakyat kecil, bukan pengumuman kenaikan harga bahan bakar. Itu hanya pengantar cerita saja.


Aku menikmati secangkir kopi pagi ini. Hari telah berganti, bahan bakar bertukar harga, tapi dampaknya biasa saja, tak ada yang berubah. Pasti belum. Kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar