Aku merasa perjalananku pulang kerja malam ini terasa lain
dari biasanya. Jalanan lebih padat dari biasanya, lebih lama dari biasanya,
lebih riuh dari biasanya, lebih panik dari biasanya, lebih jenuh dari biasanya.
Semua orang sepertinya terburu-buru, tergesa-gesa. Klakson-klakson bersahutan,
memaki. Meski jalanan begitu padat, namun para pengendara seperti mengejar
sesuatu, atau dikejar sesuatu, entah apa. Berkali-kali aku harus menginjak rem
sepeda motorku lebih keras dan serba mendadak, menghidari serobotan-serobotan
pengendara lainnya, mengindari senggolan dan tabrakan. Ah rasanya hidup dan
mati di jalanan seperti ini sangat dekat tak berjarak.
Sebuah bus angkutan umum berbelok secara
mendadak serampangan di jalan masuk sebuah pom bensin, seorang pengendara
sepeda motor yang hampir terserempet berteriak memaki, namun dibalas makian
lebih garang dari kondektur bus itu. Ah, apa yang terjadi malam ini?
Orang-orang seperti kesetanan, tak peduli tata krama, tak peduli warna lampu lalu
lintas, merah, hijau, sama saja. Tak peduli lagi kalau dirinya manusia, bahkan
sempat aku berpikir, setanpun sekarang mungkin lebih berprikemanusiaan.
Di sepanjang jalan yang kulalui, terlihat
antrian panjang mengular di setiap stasiun pengisian bahan bakar, tak tak
terkecuali. Ah, aku baru sadar, rupanya mereka berusaha untuk bisa menikmati
tetes terakhir BBM bersubsidi. Berita tentang keputusan pemerintah untuk
mencabut subsidi BBM yang akan diputuskan malam ini begitu dahsyat akibatnya. Angkutan
umum, Truk, mobil pribadi, sepeda motor semua berlomba memenuhi tangki
kendaraannya sebelum kenaikan diumumkan. Terlintas untuk ikut antri bersama
mereka, tapi ah tangki sepeda motorku hanya menampung beberapa liter saja, tak
sebanding dengan ongkos antrian yang begitu mengular, pikirku.
Akhirnya tiba waktu yang ditunggu-tunggu, tapi
siapa pula yang menunggu? Waktu yang sangat penting, semua stasiun televisi
nasional menghentikan segala aktivitasnya demi menyiarkan secara langsung
pidato bapak menteri berambut perak itu. “Untuk meyelamatkan dan
menyehatkan perekonomian” demikian sekilas alasan yang dikemukakan oleh sang
menteri mengawali pengumuman kenaikan harga BBM. Dengan wajah yang terlihat
enggan, atau pura-pura enggan, aku tidak dapat membedakannya kawan.
Ah aku membayangkan beragam reaksi atas keputusan
pemerintah ini. Kekhawatiran jutaan orang akan kenaikan tarif angkutan,
sembako, makanan, minuman, tarif tukang cukur, tarif WC umum dan semua yang
harus ditukar dengan uang. Para pengamat ekonomi kebanjiran tawaran manggung di
televisi dan radio. Para penimbun bahan bakar siap memasarkan dagangannya tepat
dimulai jam 00.01 WIB. Para politisi penolak kenaikan bahan bakar berkomentar
di sana-sini, merasa mewakili rakyat kecil, sebagian memohon maaf, atau pura-pura
mohon maaf karena tidak berhasil memperjuangkan pembatalan kenaikan harga bahan
bakar. Mungkin juga tersenyum, karena terbayang dukungan rakyat pada pemilu
2014 nanti. Para pemilik kendaraan menggerutu karena otomatis biaya harian
perjalanan harus ditambah. Para pemilik, para pengambil keputusan di perusahaan
was-was dengan unjuk rasa kenaikan upah para buruhnya. Ah, tapi itu hanya
bayanganku saja kawan, lintasan liar dari pikiranku saja, entah benar, entahpun
tidak. Reaksi sebagian lain mungkin biasa saja, karena berita inipun sebetulnya
sudah diketahui seluruh masyarakat cukup lama. Setiap hari kita saksikan iklan
layanan masyarakat di TV tentang informasi ini. Konon, dana untuk sosialisasi
kenaikan harga BBM ini menghabiskan ratusan milyar rupiah.
“Hal ini pasti akan menimbulkan inflasi yang
berdampak pada daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Pilihan yang amat
sulit dan merupakan pilihan alternatif terkahir yang diambil oleh pemerintah”. Demikian
pak Menteri berambut perak itu menambahkan, dengan wajah memelas, atau pura-pura memelas, aku tidak bisa
membedakannya kawan. Pilihan alternatif terakhir? Dengan kata lain, ada
piliihan pertama, kedua, ketiga hingga pilihan terakhir. Pilihan alternaif
pula. Mengapa pilihan alternatif terakhir yang diambil? Apa isi pilihan
pertama, kedua dan seterusnya hingga akhirnya mengambil pilihan alternatif
terakhir, pak menteri tidak menjelaskannya dalam pengumuman itu. Ah, pasti
banyak pertimbangannya, pikirku.
“Penyesuaian harga BBM ini pemerintah haruslah
disertai dengan program percepatan dan perluasan perlindungansosial serta
program khsuus lainnya agar dapat melindungi masyarakat yang terkena dampak
tersebut”. Mulailah pak menteri berambut perak itu membeberkan program-program
pemerintah untuk ‘menyelamatkan’ rakyat kecil yang terkena dampak kenaikan
harga BBM ini. Justru penjelasan tentang program inilah yang begitu panjang
lebar disampaikan. Seolah justru itulah yang sesungguhnya ingin disampaikan,
kebaikan-kebaikan dan kepedulian pemerintah terhadap rakyat kecil, bukan
pengumuman kenaikan harga bahan bakar. Itu hanya pengantar cerita saja.
Aku menikmati secangkir kopi pagi ini. Hari telah berganti, bahan bakar bertukar
harga, tapi dampaknya biasa saja, tak ada yang berubah. Pasti belum. Kita
tunggu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar